MAKALAH SEJARAH
SUPER SEMAR
(SURAT PERINTAH
SEBELAS MARET 1966)
Diajukan sebagai
tugas mata kuliah
Komputer dan
Pengembangan Lab 1
Oleh
:
Nama
: MARZUKI NYAMAT
NIM : 13021016
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PGRI
WATES
2013
DAFTAR
ISI
JUDUL
………………………………………………………………………..1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………...2
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………3
Bab I …………………………………………………………………………4
A.
Pendahuluan………………………………………………………4
B.
Latar Belakang………………………………………………………….4
C.
Rumusan
Masalah……………………………………………………....5
D.
Kajian
Pustaka………………………………………………………... .5
1.
Pengertian Supersemar………………………………………...6
2.
Supersemar Versi Satu………………………………………....6
3.
Supersemar Versi Kedua……………………………………....6
4.
Perkembangan Terbaru
Seputar Kontrovers
Supersemar…..8
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Pertama-tama marilah
kita panjatkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah.SWT karena atas karuniaNya
saya
dapat menyelesaikan makalah sejarah ini.Tak lupa sholawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.Makalah ini saya buat untuk menyelesaikan
tugas sejarah.
Makalah yang berjudul
SUPERSEMAR (SURAT PERINTAH 11 MARET 1966) ini kami susun berdasarkan standar
kompetensi kelulusan mata kuliah
Komputer dan Pengembangan .Selain itu,saya berharap semoga
makalah saya
dapat menjadi referensi bagi mahasiswa
yang ingin membuat makalah yang berkaitan dengan supersemar serta memberikan
informasi yang berguna bagi semua orang yang ingin mengetahui sejarah dari
supersemar atau surat perintah 11 Maret 1966.Saya selaku penyusun
makalah ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.Isnan Amaludin, S.S. selaku Dosen Mata Kuliah Komputer dan Pengembangan Lab
2.Semua
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini
Saya sebagai penyusun dari
makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu saya memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan saya
juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk dapat
menyempurnakanya sehingga dapat lebih bermanfaat dimasa mendatang.Amin ya
robbal alamin.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Hormat saya
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Saya membuat makalah ini
karena saya
ingin mendalami materi SUPERSEMAR yang berkaitan pada kondisi Indonesia pada
Era tahun 1965 dimana terdapat banyak masalah berat yang melanda dari berbagai
bidang yang bersifat vital bagi Bangsa Indonesia.Pada bidang politik,sistem
pemerintahan demokrasi terpimpin yang diterapkan Ir.Sukarno seperti membuat
suatu pemerintahan yang otoriter di Indonesia.Selain itu,bung karno membuat
konsep NASAKOM yang berarti nasionalis,agama dan komunis.Kebijakan itulah yang
akhirnya membawa perpecahan karena dalam nasionalis,agama dan komunis terdapat
perbedaan-perbedaan yang bisa memicu konflik di kemudian hari. Sistem
pemerintahan demokrasi terpimpin juga menyebabkan pihak yang bisa mempunyai
posisi kuat di pemerintahan bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Pada
bidang militer,dwifungsi ABRI yang membuat anggota ABRI bisa menduduki jabatan
di bidang politik dan pemerintahan membuat peran ABRI menjadi tidak lazim
karena tentara tujuan sebenarnya dibentuk untuk keperluan pertahanan
negara.Selain itu,konfrontasi Indonesia-Malaysia yang terjadi pada masa itu
membuat pro dan kontra pada pemerintah dari sejumlah tokoh militer.Dan pada
bidang ekonomi Indonesia mengalami inflasi yang mencapai presentase 650 %
membuat harga-harga bahan-bahan pokok melambung tinggi sebagai akibat dari
berbagai faktor yang diantaranya kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji
tentara.
Klimaks
dari berbagai masalah diatas terjadi pada akhir tahun 1965 yaitu sebuah
peristiwa kontroversial yang melibatkan Partai Komunis Indonesia bernama
Gerakan 30 September dan Gerakan Satu Oktober yang lebih dikenal dengan G 30
S/PKI.Hal itu,membuat Indonesia kacau balau karena terjadi pembunuhan para
jendral-jendral penting ABRI sehingga akhirnya ABRI dibawah Jendral Suharto dan
Kolonel Sarwo Edhie dari KOSTRAD berhasil menghentikanya.Setelah peristiwa
itu,maka terjadilah reaksi dari masyarakat berupa Tritura yang berisi Tiga
Tuntutan Rakyat pada Pemerintah Republik Indonesia.Untuk menjaga kestabilan
dari Republik Indonesia maka dikeluarkanlah Surat Perintah pada tanggal 11
Maret 1966.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh yang
berperan penting dalam terbitnya Surat Perintah 11
Maret 1966?
2. Bagaimana
keadaan Indonesia setelah terbitnya Supersemar?
3. Mengapa
terjadi kontroversi dalam naskah Supersemar?
Tujuan
Saya membuat makalah ini
dengan tujuan ingin mengetahui bagaimana proses penerbitan Supersemar dan
penyebab kontroversinya.
C.
KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Supersemar
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar
adalah surat
perintah yang ditandatangani
oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno pada
tanggal 11 Maret 1966.Surat ini
berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)
untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi
keamanan yang buruk pada saat itu.
Dalam membuat tugas sejarah tentang Supersemar,Kami mendapat versi
yang berbeda dari setiap sumber yang telah kami ambil datanya untuk itu kami
akan membahasnya satu persatu.
2. Supersemar Versi Satu
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan
dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku
sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan
bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah
supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Versi resmi mengenai lahirnya
Supersemar adalah sebagai berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer
terhadap sisa-sisa G-30-S boleh dikatakan sudah selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum
dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan. Sementara krisis ekonomi tambah parah. Laju
inflasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi,
uang bernilai Rp 1.000 turun menjadi Rp 1. Sementara itu harga-harga membubung
naik. Tak ayal lagi, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar yang
tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia) marak di mana-mana. Selama 60 hari, dengan dipelopori
para mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibu kota dipenuhi
demonstran. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya:
Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Sementara itu, sejak
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, terjadi perbedaan pendapat
antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk
mengatasi krisis nasional yang semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S
tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan rakyat tidak akan reda selama
PKI tidak dibubarkan. Sementara itu Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin
membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah
dicanangkan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam
pertemuan-pertemuan berikutnya di antara keduanya. Soeharto kemudian
menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari
presiden.
Pada tanggal 11 Maret
1966, Kabinet (yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri" karena jumlah
menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna untuk mencari jalan
ke luar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa melakukan pengempesan ban
mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen
Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana
sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya,
Brigjen Amir Mahmud bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno yang tetap
merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana
Menteri Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh.
Setelah itu, tiga
perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M.
Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Machmud, dengan seizin
atasannya yaitu Jendral Soeharto yang menjabat Menpangad merangkap
Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana ketiganya
mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu
Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan yang
berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk
mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden.
Akhirnya, Presiden Soekarno
memutuskan untuk membuat surat perintah yang
ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada
Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara, menjaga
ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan melaporkan kepada Presiden.
Jadi, Soeharto diberi kewenangan untuk mengambil semua tindakan yang perlu guna
mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden. Teks surat dirumuskan
oleh ketiga wakil perdana menteri bersama ketiga perwira tinggi AD yang disebut
di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagai sekretaris. Surat itu kemudian
ditandatangani oleh presiden. Serah terima secara resmi Surat Perintah 11 Maret
1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD kepada Soeharto dilaksanakan pada
tanggal 11 Maret itu juga, sekira pukul 21.00 WIB, bertempat di markas Kostrad.
Surat inilah yang dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Lepas tengah malam tanggal 11 Maret
1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah
tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung
sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang dinilai terlibat dalam
G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura, sudah dilaksanakan. Popularitas
Soeharto pun meningkat. Ternyata setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan
Presiden Soekarno tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme
kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai
Pengemban Supersemar yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.
Soeharto
kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok
memulihkan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan
tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66. Demikianlah riwayat singkat
Supersemar.
4. Beberapa
Kontroversi tentang Supersemar
·
Menurut Kesaksian A.M.
Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi
Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba
yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto.
Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa
adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral
lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966
dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada
saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana
Merdeka, Jakarta
untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua
menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk
menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah
berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul
Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya
tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana
Bogor, menemui Presiden Soekarno yang
berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana
yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris
Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk
datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini
rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah
Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di
luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank
ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya
Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan
dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama
dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral
Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam,
tidak hadir.
- Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
- Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer.
terima kasih :)
BalasHapusSama sama
Hapusizin copy ya buat remed nih mepet
BalasHapusOk...
Hapus