Jumat, 20 Oktober 2017

Fakta dan Kebenarannya dalam Filsafat Sejarah




Fakta
Banyak para ahli sejarah condong memandang fakta (historis) sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dapat diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis tak dapat disangsikan dan andaikata terjadi kesangsian maka dalam praktek ini dapat dipecahkan.kadang-kadang fakta kurang memadai untuk menentukan sebuah peristiwa dengan kepastian. Becker memandang fakta historis itu sebagai sebuah lambing bagi segala sesuatu yang dikaitkan oleh para ahli sejarah dengan istilah fakta historis, ada segi-seginya yang menarik tetapi juga yang kurang menarik.

Kelemahan yang paling dicela dalam teori Becker ialah, bahwa ia mengabaikan perbedaan antara masa silam sendiri dan uraian kita mengenai masa silam. Sebagai akibat diskusi historis, kita memang akan mengaitkan makin banyak hal dengan suatu fakta historis tertentu dan sebaliknya mengaitkan fakta itu dengan fakta-fakta lain pula, tetapi ini tidak mengubah masa silam sendiri serta fakta-fakta dari masa silam. Dalam filsafat sejarah, tak ada suatu kesalahan yang demikian sering dan suka dilakukan oleh para filsuf daripada mengacaukan fakta dengan omongan kita mengenai fakta itu. Kekacauan ini demikian umum terjadi sehingga kita kita hamper ingin bertanya apakah dalam pengkajian sejarah ada alasan untuk menghapuskan saja perbedaan tersebut.
Berbagai Pernyatan Mengenai Masa Silam

Yang dimaksudkan dengan pernyataan historis adalah pernyataan mengenai fakta-fakta historis atau seperti juga sering dikatakan mengenai keadaan-keadaan pada masa silam. Di sebut masa silam adalah keseluruhan keadaan-keadaan itu . sifat keadaan itu beserta pernyataan-pernyataan kita mengenai keadaan itu dapat berbeda-beda, kadang-kadang, keadaan fakta itu hanya satu kali terjadi atau merupakan peristiwa unik. Namun tidak semua pernyataan umum yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan historis juga sungguh merupakan pernyataan-pernyataan mengenai keadaan-keadaan umum tertentu. Peristiwa unik mengenai diproklamasikannya kemerdekaan Negara kita terjadi di pegangsaan Timur 56 pada tanggal 17 Agustus 1945. Contoh baik mengenai keadaan-keadaan umum kita jumpai dalam ilmu alam. Menurut hokum Newton dua benda saling menarik dengan kekuatan yang sebanding lurus dengan masa benda-benda itu dan berbanding terbalik dengan pangkat dua jarak kapan saja
.Namun dalam pernyataan-pernyataan umum yang dirumuskan oleh para peneliti sejarah, pembatasan menurut tempat dan waktu rupanya tidak dapat dihindarkan.
Kebenaran
Sebuah wacana atau teks historis untuk bagian besar terdiri atas pernyataan-pernyataan singular dan umum mengenai masa silam. Pernyataan-pernyataan umum itu tidak lain dari suatu rangkuman mengenai pernyataan-pernyataan singular. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sebuah teks historis pada pokoknya terdiri atas serangkaian pernyataan singular mengenai masa silam. Satu-satunya syarat agar sebuah teks historis dapat dipercaya, ialah agar ucapan-ucapan singular itu benar. Teks-teks historis dan pernyataan-pernyataan singular historis lebih berpretensi melimpahkan pengetahuan dan tidak hanya melakukan dengan tindakan bahasa. Dengan ucapan-ucapan singular seorang ahli sejarah melukiskan masa silam dan tidak bermaksud menunjukkan sesuatu kepada pembaca atau mengingatkan pembaca akan sesuatu yang sudah diketahuinya. Maka dari itu untuk pengkajian sejarah, teori tindak bahasa tidak membeberkan perspektif-perspektif yang berguna.

Konsep kebenaran sebetulnya tidak diperlukan. Barang siapa mempergunakannya, tidak menambah sesuatu pun pada apa yang telah dikatakannya. Sekalipun demikian para penganut teori ini bersedia menerangkan mengapa dan dalam keadaan apa kata benar ingin kita gunakan. Karena disini kita membicarakan kebenaran yang terdapat dalam pernyataan-pernyataan singular mengenai masa silam, maka kegunaan praktis dari suatu uraian historis dalam keseluruhannya, bukan alasan cukup untuk mendukung pendapat bahwa ucapan-ucapan singular berguna bagi perbuatan kita sekarang ini. Dengan demikian, teori kebenaran pragmatis tidak memaparkan perspektif yang menarik bagi pengkajian sejarah.
Teori korespondensi untuk menguji kebenaran bahwa suatu ucapan benar, bila terdapat keserasian (korespondensi) antara apa yang dinyatakan dalam ucapan itu dengan keadaan yang disebut dalam ucapan tadi di dalam kenyataan (historis). Secara formal teori korespondensi mendefinisikan konsep kebenaran, sedangkan teori koherensi menunjukkan criteria untuk mengecek kebenaran ucapan itu. Teori koherensi lebih serasi dengan praktek penelitian sejarah daripada teori korespondensi. Koherensi memang merupakan tolok ukur yang dipergunakan oleh para peneliti sejarah guna menentukan apakah sebuah pernyataan historis benar atau tidak.

Kesimpulan dapat kita ambil dengan uraian diatas bagi penelitian sejarah, hendaknya kita menyadarkan bahwa terdapat suatu kaitan erat antara apa yang kita lihat atau amati dalam kenyataan di satu pihak dan apa yang kita anggap benar di lain pihak yang merupakan titik pangkal untuk merumuskan ucapan-ucapan yang kita anggap serasi dengan kebenaran. Pengamatan empiris selalu dilatarbelakangi oleh teori-teori tertentu. Tak ada pengamatan yang polos dan murni. Inilah salah satu pendapat dalam filsafat ilmu pengetahuan yang kini umum diterima, baik dalam bidang pengkajian sejarah, ilmu-ilmu sosial, maupun dalam ilmu eksakta
dan bahkan dalam hidup sehari-hari.

Teori koherensi dan tesis bahwa pengamatan empiris selalu dilatarbelakangi oleh suatu teori masih menghasilkan sebuah kesimpulan lain. Karena konsep-konsep kita, teori-teori umum serta asumsi-asumsi kita turut menentukan bagaimana kita mengalami kenyataan (historis), maka konsep-konsep serta teori-teori tersebut dapat kita umpamakan dengan semacam lampu sorot yang dalam kegelapan menyapu kenyataan empiris (historis),lalu menyoroti objek-objek mana yang relevan dan ada artinya untuk diteliti dalam penelitian historis. Teori korehensi (serta tesis mengenai diwarnainya pengamatan empiris oleh teori-teori kita lebih dekat pada penelitian sejarah, seperti dilangsungkan serta pada perkembangan historiografi daripada teori korespondensi.
Kesimpulan
Menurut Becker sebuah fakta historis merupakan suatu lambang bagi suatu jaringan fakta-fakta yang saling mengait. Dalam diskusi historis, kebenaran dan kesahihan fakta-fakta historis ditentukan oleh suatu penelitian mengenai koherensi fakta-fakta yang kait-mengait dalam jaringan tersebut. Kita melihat pula bahwa Becker membuat kesalahan yang sering dilakukan oleh para peneliti sejarah beserta filsuf sejarah, ialah mengacaukan kenyataan historis dan omongan kita mengenai kenyataan itu. Kebenaran ucapan-ucapan singular yang mewujudkan suatu uraian historis belum menjamin kebenaran atau mutu uraian seluruhnya. Maka dari itu tidak memuaskan bila kebenaran suatu uraian historis kita gantungkan pada
kalimat masing masing.

Sumber : kuliah Filsafat Sejarah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KERAJAAN MARITIM HINDU-BUDHA DI INDONESIA (HABIS)

6. Kerajaan Kediri Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222....