29 April 711 M, seorang panglima
muda berdiri di suatu bukit. Matanya tajam memandang hamparan semenanjung
Iberia Spanyol, yang kemudian dikenal dengan Andalusia. Ia menatap wajah para
prajuritnya dan memerintahkan untuk
segera membakar 200 kapal armada perangnya. Setelah semua kapal terbakar, ia
menyampaikan sebuah petuah yang sangat menarik dan heroik. Ia berkata “wahai para prajuritku yang gagah perkasa!
Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang dan musush di depn
kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan kecuali
bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran. Ingatlah, jadilah muslim
terhormat atau mati sebagai syuhada”. Siapakah gerangan panglima muda itu?
Ia adalah Thariq bin Ziyad. Sebuah nama yang sangat melegenda. Kelak, bukit
tempat ia pertama kali menjejakkan kakinya di Iberia disebut sebagai “Jabal ath-Thariq” atau dalam lidah
Barat dikenal dengan nama “Gibraltar”.
Misi Thariq bin Ziyad adalah
membebaskan rakyat Spanyol dari kezaliman serta penindasan raja dan kaum bangsawan.
Khususnya, raja Roderick dari Visighot yang telah memperkosa Florinda (putri
tunggal Julian, gubernur Ceuta). Florinda akhirnya bunuh diri karena merasa
terhina dan tidak kuat menanggung malu. Menurut Phillip K. Hitti, kelak Julian
adalah penyedia kapal yang digunakan oleh pasukan muslim. Julian meminta kepada
Musa bin Nushair (Gubernur Maghribi) untuk dapat membalaskan rasa sakitnya.
Permintaan Julian disambut oleh Musa bin Nushair karena memang sudah lama umat
Islam mendengar penderitaan rakyat yang tertindas di Spanyol dan belahan benua
Eropa lain akibat sistem kerajaan yang absolut. Inilah alasan utama Musa bin
Nushair menunjuk Thariq bin Ziyad yang masih muda untuk memimpin pasukan
sebagai bentuk aktualisasi wahyu Illahiyah untuk membebaskan umat manusia dari
segala bentuk kezaliman. Dalam ajaran Islam, penyelamatan nilai kemanusiaan
adalah amanah Ilahi yang merupakan hukum paling tinggi.
Perbandingan antara kedua pasukan
adalah 1:10. Pasukan Thariq bin Ziyad terdiri dari 7000 orang, sedangkan Raja
Roderick 70000 dilengkapi pasukan berkuda. Meski tidak sebanding, tetapi
kekuatan pasukan muslim saat itu teruji baik kualitas prajurit maupun
pemimpinnya. Ini mengingatkan kembali saat 24000 pasukan Islam melawan 100000
pasukan Romawi di Yarmuk atau saat 48000 pasukan Islam melawan 130000 pasukan
Persia di Qaddisiyah.
Tanggal 19 Juli 711 M, pasukan
Thariq bin Ziyad mampu memenangkan pertempuran yang menentukan di Guadalete.
Roderick mencoba melarikan diri dengan menyebrang sungai, tetapi ia mati tenggelam.
Kemenangan Thariq bin Ziyad adalah tonggak dimulainya pencerahan di dunia
Eropa. Dibawah kekuasaan Islam, agama Yahudi, Kristen dan Islam mampu hidup
berdampingan secara harmonis bagaikan sahabat selama 600 tahun. Orang Yahudi
mengalami kebangkitan spiritual di Spanyol (yang nantinya diikuti umat
Kristiani di belahan Eropa lain). Mereka menimba ilmu dari para cendekiawan
muslim dsn mereka tidak menjadi korban kebencian para penguasa Kristen seperti
yang terjadi di wilayah Eropa lainnya. Tidak ada undang-undang propaganda
kebencian Kristen atau Yahudi di wilayah kekuasaan Islam. Mereka dilindungi
secara penuh. Bahkan menurut Karen Amstrong dalam bukunya Berperang Demi Tuhan,
kaum Yahudi di negara Islam tidak dibantai. Tidak ada tradisi antisemitisme yang
tumbuh. Mereka benar-benar diberi kebebasan untuk menjalankan urusan mereka
sesuai keyakinannya. Pembantaian kaum Yahudi justru terjadi saat kelak
Andalusia atau Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, bebarengan dengan diusirnya
kaum muslim.
Para sejarawan telah bersepakat
bahwa pada zaman itu kekuasaan Islam berperan sebagai super power yang mewakili
peradaban modern selanjutnya. Ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dikembangkan.
Tidak ayal lagi, Andalusia adalah mata rantai, bahkan pelopor yang menghantarkan
lahirnya peradaban modern sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Tanpa
Andalusia, dunia akan tetap tersembunyi dalam kegelapan. Ajaran mulia Al-Quran
telah melahirkan budaya toleransi yang belum pernah ada oelh bangsa-bangsa
sebelumnya. Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas yale
berpendapat bahwa “toleransi merupakan
aspek yang melekat pada masyarakat Andalusia”. Orang-orang Yahudi atau
Kristen yang dianggap terlarang (di negeri mereka) dari seluruh Eropa datang ke
Andalusia, dimana mereka diterima sebab toleransi. Hal ini merupakan salah satu
faktor yang menjadi sebab kemenangan Thariq bin Ziyad, yaitu dukungan penduduk
setempat. Penduduk asli merasa terkesan dengan akhlak personel pasukan Thariq.
Mereka merasa terbebaskan dan sangat percaya bahwa rakyat Andalusia akan
memperoleh keadilan dan kesejahteraan serta terbebas dari penindasan raja,
bangsawan, bourgouise dan landlord (tuan
tanah) yang menyengsarakan penduduk dengan membayar pajak yang sangat
tinggi. Sistem pemerintahan Islam yang bersifat desentralisasi telah memberikan
kesempatan kepada setiap wilayah untuk mengembangkan perekonomiannya.
Puncak pencapaian intelektual
muslim Spanyol terjadi dalam arena pemikiran filsafat. Dalam bidang ini, mereka
membentuk mata terakhir dan paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan
filsafat Yunani yang telah diubah oleh mereka dan kerabat mereka di Timur
Tengah dengan pemikiran Latin Barat. Filsafat yang dikembangkan oleh orang
Yunani dan agama monoteistik yang dikembangkan oleh nabi-nabi Ibrani adalah
warisan paling kaya yang berasal dari kebudayaan Barat dan Timur kuno. Berkat
para pemikir muslim Baghdad dan Spanyol Abad Pertengahan, dua arus pemikiran
itu bisa dipadukan dibawa dalam harmoni menuju Eropa. Mereka memberi kontribusi
yang sangat penting pada peradaban. Limpahan arus intelektual itu menumbuhkan
gagasan dan pemikiran baru di Eropa Barat, terutama pemikiran filsafat dan
menjadi titik awal berakhirnya “zaman
kegelapan”, serta menyingsingnya fajar skolastik. Dikobarkan oleh
persentuhan antara pemikiran orang Arab dan dipacu oleh khazanah pengetahuan
Yunani kuno, ketertarikan bangsa Eropa dalam pengetahuan dan filsafat, memimpin
mereka menuju kemandirian dan dengan cepat mengembangkan kehidupan intelek tual
mereka sendiri yang hasilnya bisa kita lihat sendiri saat ini.
Diantara filosof-filosof pertama
Arab Spanyol adalah Solomon ben Gabirol (Avicebron,
Avencebrol), seorang Yahudi. Ia lahir di Malaga sekitar 1021 M, dan
meninggal di Valencia sekitar 1058 M. Sebagai guru besar pertama aliran
neo-Platonis di Barat, ben Gabirol sering disebut sebagai Plato-Yahudi. Seperti
halnya ibn Masarrah, filosof sebelumnya, ia adalah pembela utama sistem
filsafat yang berkiblat pada Empedocles. Ribuan tahun sebelum zamannya,
filsafat Plato telah ditemukan oleh Philo, ahli filsafat Helenistik Yahudi dari
Iskandariyah. Karya utama ben Gabirol adalah Yanbu’ al-Hayyah (Sumber Kehidupan). Karyanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
1150 M dengan judul Fonsvitae yang memainkan peranan penting dalam skolasitisme
Abad Pertengahan, dan mengilhami munculnya aliran Fransiskan.
Pada abad ke-12 merupakan abad
terbesar dalam sejarah pemikiran filsafat muslim-Spanyol. Abad ini dibuka oleh Abu Bakr Muhammad ibn Yahya ibn Bajjah
(Avenpace, Avempace), seorang filosof, ilmuwan, dokter, musisi, dan
komentator pemikiran Aristoteles. Ibnu Bajjah tumbuh di Granada dan Saragossa,
dan meninggal di Fez pada 1138 M. Ibnu Bajjah menulis beberapa risalah dalam
bidang astronomi yang mengkritik asumsi-asumsi Ptolemius dan membuka jalan
untuk Ibnu Thufayl dan al-Bitruji. Risalah-risalah lain Ibnu Bajjah juga
mengupas masalah kedokteran (materia
medica) yang dikutip oelh Ibnu al-Baythar dan beberapa karyanya yang lain
masih dalam bidang kedokteran, banyak memengaruhi pemikiran Ibnu Rusyd. Menurut
Ibnu Khallikan, karya Ibnu Bajjah yang
paling penting, satu-satunya karya yang masih ada, selain surat perpisahan
untuk temannya, adalah risalah filsafat berjudul Tadbir Al-Mutawahhid (De Regimine Solitarii, Rezim Yang Sendirian),
yang hanya tersedia dalam bentuk abtrasi berbahasa Ibrani. Tujuan buku itu
adalah menunjukan bagaimana manusia yang lemah bisa mencapai persatuan dengan
intelek Aktif, dan untuk mengajarkan bahwa pencapaian kesempurnaan jiwa manusia
secara bertahap dengan zat Ilahi merupakan tujuan filsafat. Para penulis
biografi muslim menganggap bahwa Ibnu Bajjah adalah seorang Ateis.
Pemikiran filsafat Ibnu Bajjah
telah membawa selangkah lebih maju oleh Abu
Bakr (Abubacer) Muhammad ibn ‘Abd al-Malik ibn Thufayl, seorang ahli
filsafat neo-Platonis yang belajar ilmu kedokteran di Granada, dan terakhir
menjadi penasihat sekaligus kepala tabib istana Dinasti Muhwahidun pada masa
khalifah Abu Ya’qub Yusuf (1163-1184 M). Sebuah kombinasi jabatan yang tidak biasa didapat di sebuah
negara Islam. Pada 1182 M ia menyerahkan posisinya sebagai tabib istana dan
digantikan oleh kawannya yang usianya lebih muda dan juga seorang ahli filsafat
yaitu Ibnu Rusyd, yang ia rekomendasikan kepada khalifah. Dua orang termasyhur
ini menorehkan jasa yang tak terhapus di dalam istana Dinasti Muwahhidun,
sebuah dinasti puritan dalam teologi, namun liberal dalam perlindungannya atas
pemikiran filsafat. Lahir pada dekade pertama abad ke-12 M, Ibnu Thufayl
meninggal pada 1185 M di ibukota Muwahhidun, Maroko. Penyokonganya yang kedua,
khalifah Abu Yusuf al-Manshur (1184-1199) menghadiri prosesi pemakamannya.
Karya besarnya adalah roman filsafat yang orisinil berjudul Hayy ibn Yaqzhan (Yang Hidup, Anak
Kesadaran), yang gagasan utamanya menunjukkan bahwa manusia dengan
kapasitas yang dimilikinya tanpa bantuan sedikit pun dari luar mampu mencapai
pengetahuan tentang dunia yang lebih tinggi, dan secara bertahap bisa menemukan
ketergantungannya dengan Realitas Puncak. Cerita ini, salah satu kisah paling
orisinil, dan paling menghibur dalam sejarah sastra Abad Pertengahan, pertama
kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Edward Pococke (1671), lalu ke
dalam sebagian besar bahasa Eropa, termasuk Belanda (1672), Rusia (1920), dan
Spanyol (1934). Sebagian orang melihat bahwa novel Robinson Crusoe bersumber
dari roman filsafat ini. Teori yang dibangunnya adalah teori evolusi. Ibnu
Thufayl meminjam karakter kisahnya dari kisah pendek karya Ibnu Sina dengan
judul yang sama, tetapi Thufayl mengambil inspirasinya dari penulis terdahulu
sejak al-Farabi.
Filosof muslim terbesar yang
dinilai dari pengetahuanya atas dunia Barat adalah astronom Arab-Spanyol, juga
dokter dan komentator Aristoteles, yaitu Abu
al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (Averoes). Ia lahir di Kordova pada
1126 m dari kalangan terhormat yang telah melahirkan beberapa teolog dan hakim.
Pada 1169-1171 M, ia sendiri menjabat sebagai Qadhi (Hakim Agung) di Seville, dan dua tahun berikutnya di
Kordova. Pada tahun 1182, ia dipanggil ke Maroko oleh Abu Ya’qub Yusuf untuk
menggantikan Ibnu Thufayl sebagai dokter istana. Anak laki-laki Yusuf, dan
pengganti al-Manshur mendepak Ibnu Rusyd pada 1194 M dengan tuduhan sebagai
pelaku bid'ah karena kajian-kajian filsafatnya, tetapi belakangan ia dipanggil kembali
ke Marakesy, tempat ia meninggal tidak lama setelah itu, tepatnya pada 10
Desember 1198 M. Jenazahnya kemudian dipindah ke Kordova. Sumbangan paling
penting Ibnu Rusyd utnuk ilmu kedokteran adalah karya ensiklopedia berjudul Al-Khuliyat Fi Al-Thibb (Generalitas Dalam
Kedokteran), yang diantaranya menyatakan bahwa orang yang telah biasa
terkena cacar air tidak mungkin terserang lagi untuk kedua kalinya, dan ia juga
menjelaskan fungsi retina dengan penjelasan yang bisa dimengerti. Tetapi sosok
Ibnu Rusyd sebagai dokter tenggelam oleh sosok Ibnu Rusyd sebagai filosof dan
komentator. Karya filsafatnya yang paling penting disamping
komentar-komentarnya adalah Tahafut
al-Tahafut (Kacaunya Kekacauan), sebagai jawaban terhadap serangan
al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya yang berjudul Tahafut a-Falasifah (Kekacauan Filsafat ). Berkat karya itulah Ibnu
Rusyd menjadi filosof paling tenar di dunia Islam. Sedangkan di kalangan Yahudi
dan Kristen, ia lebih dikenal sebagai komentator pada filsafat Aristoteles.
Seorang komentator pada Abad Pertengahan adalah orang yang menulis sebuah karya
ilmiah atau filsafat menggunakan beberapa karya penulis sebelumnya sebagai
latar belakang, atau kerangka penulisan karyanya. Komentar-komentar Ibnu Rusyd
merupakan rangkaian-rangkaian yang sebagian menggunakan judul-judul karya
Aristoteles dan memparafrasekan isi karya-karya tersebut. Ibnu Rusyd tidak
memahami bahasa Yunani, sehingga ia bersandar pada terjemahan yang dibuat para
pendahulunya di Baghdad. Sebagai seorang filosof besar yang menulis dalam
bahasa Arab, Ibnu Rusyd tidak meninggalkan seorang pun penerus di dunia Islam.
Ia lebih banyak diminati oleh dunia Kristen Eropa dibanding dunia muslim Asia
atau Afrika.
Diantara sekian banyak filosof
abad itu, yang paling berhak menempati tempat pertama setelah Ibnu Rusyd
hanyalah kerabatnya sezaman yang beragama Yahudi dan berasal dari Kordova,
yaitu Abu Imran Musa bin Maymun (bahasa
Ibrani Mosheh ben Maimon, bahasa Latin Maimonides), dokter dan filosof
Ibrani paling kondang di seluruh penjuru Arab. Ibnu Maymun lahir di Kordova
sekitar 1165 M. Menurut al-Qifthi dan Ibnu abi Ushaybi’ah, bahwa di Spanyol
Ibnu Maymun mengaku beragama Islam di depan umum, tapi diam-diam mempraktikkan
keyakinan Yahudi. Di Kairo ia menjadi dokter istana khalifah terkenal Shalah
al-Din (Saladin) dan anaknya al-Malik
al Aziz. Sejak 1177 M ia menjadi kepala kantor keagamaan Yahudi di Kairo, kota
tempat meninggalnya pada 1204 M. Sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa mengikuti
rute perjalanan Nabi Musa dan dimakamkan di Tiberias. Ibnu Maymun dikenal
sebagai astronom, teolog, tabib, dan yang paling penting sebagai seorang
filosof. Ilmu kedokteran standar Galenisme pada zamannya yang berasal dari
ar-Razi, Ibnu Sina dan Ibnu Zuhr, dihidupkan oleh kritik rasional yang
didasarkan atas sejumlah penelitian pribadi yang ia lakukan. Ibnu Maymun
menyempurnakan metode sunat atau khitan, menganggap hemorrnoid sebagai penyakit
sembelit, menganjurkan metode diet
ringan memakan sayur-sayuran sebagai langkah pengobatan dan mengajukan gagasan
ilmu kesehatan yang maju. Karyanya yang terkenal dibidang kedokteran adalah al-Fushal fi al-Thibb (Aforisme dalam
Kedokteran). Karyanya dibidang filsafat berjudul Dalalat Al-Ha’irin (Penuntun Untuk Orang Yang Bingung).
Karya-karya Ibnu Rusyd kecuali
yang terbesar, ditulis dengan bahsa Arab tetapi dengab karakter-karakter
Ibrani, lalu sebagiannya diterjemahkan ke bahasa Latin. Karya-karyanya sangat
berpengaruh melampaui batas ruang dan waktu, khususnya pada orang Yahudi dan
Kristen. Memasuki abad ke-18, karya-karyanya tetap menjadi media utma untuk
menyampaikan pemikiran pemikiran Yahudi ke non-Yahudi (gentile). Para peneliti modern menelusuri jejak-jejak pengaruhnya
didapati pada pemikiran orang Dominika, sebagaimana terungkap dalam karya Albertus
Magnus, dalam karya saingan Albertus yaitu Duns Scotus dalam pemikiran Spinoza,
bahkan dalam filsafat Immanuel Kant.
Dalam dunia Tassawuf, sufi
terkenal periode ini adalah seorang mistik Arab Spanyol yaitu Abu Bakr Muhammad bin Ali Muhyi al-Din ibn Arabi
yang menjadi sufi spekulatif terbesar dalam sejarah tassawuf. Menurut Ibnu
al-Jawzi dalam Mir’al al-Zaman, Ibnu
Arabi lahir di Murcia (Mursiyah) pada 1165 M dan menghabiskan sebagian besar
hidupnya di Seville sampai 1202, ketika ia melakukan ibadah haji dan kemudian
tinggal di Timur sampai kematiannya di Damaskus pada 1240 M. Di kota itulah
terletak makamnya yang terlindung di dalam masjid. Bagi para pengikutnya, Ibnu
Arabi adalah al-syaikh al-akbar, guru besar. Ajaran-ajaran mistiknya terpatri
dalam sebuah karyanya yang memukau. Diantara sekian banyak karyanya, yang
paling berpengaruh adalah al-Futuhat
al-Makkiyah (Penyingkapan Mekah) dan Fushush
al-Hikam (Kantong-Kantong Kebijaksanaan). Dalam karyanya itu, terdapat satu
tulisan berjudul Kimiyya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), yang mengandung
alegori esoteris, mengibaratkan pendakian seorang manusia menuju surga. Dalam
karyanya yang lain, yang belum diterbitkan berjudul al-Isra ila Maqam al-Asra (Perjalanan Malam Menuju Puncak), ia
mengembangkan tema pendakian Nabi sampai langit ketujuh. Karyanya itu muncul
lebih dulu dari Dante Aliegri.
Menurut Al-Maqqari, dalam fikih,
Ibnu Arabi menganut mazhab Zahiriyah (literalis) mengikuti kerabatnya setanah
air, yakni Ibnu Hazm; sedangkan masalah keyakinan spekulatif, ia merupakan
pelopor aliran Batiniyah (esoteris). Dalam hal filsafat, Ibnu Arabi dalam
bukunya Turjuman al-Asywaq
menjelaskan ia adalah seorang monist-panteistik, sebagaimana terungkap dalam
ajaran wahdah al-wujud-nya (Kesatuan
Eksistensi). Tema utamanya adalah bahwa segala sesuatu pra-ada sebagai ide-ide
(a’yan tsabitah) dalam ilmu pengethuan Tuhan, yang darinya mereka berasal dana
kepadanya mereka kembali. Tidak ada creatio ex-nihilo, dunia semata merupakan
aspek luar dari Tuhan, yang merupakan aspek dalamnya. Antara wujud dan
sifatnya, yaitu Tuhan dan alam semesta, tidak ada perbedaan yang nyata. Dari
sinilah tassawuf Islam bersentuhan dengan gagasan panteisme. Tuhan
mengejawantahkan diri-Nya pada manusia, dan manusia sempurna (al-insan al-kamil) adalah bisa
dipastikan bahwa itu Muhammad SAW. Muhammad SAW adalah juga kalimah, logos,
seperti halnya Isa. Seorang sufi sejati dalam pandangan Ibnu Arabi hanya
memiliki satu penuntun, cahaya batin, dan akan bisa menemukan Tuhan dalam agama
apapun.
Mazhab iluminasi, atau pencerahan
(isyraqiyah), yang diwakili oleh
filosof Spanyol terbesar Ibnu Arabi, tersebar luas tidak hanya memengaruhi
lingkaran-lingkaran sufi Persia dan Turki, tetapi juga ikut membentuk mazhab
skolastik Kristen yang sering disebut mazhab Augustinian, seperti Duns Scotus,
Roger Bacon dan Raymond Lull. Orang Murcia lain, Abu Muhammad Abd al-Haqq ibn Sab’in (1217-1260 M), menganut dan
mengembangkan pemikiran dan karya yang serupa dengan Ibnu Arabi. Kedudukaannya
yang utama dalam lingkaran sufi memberinya gelar Quthb al-Din (poros agama). Tapi ia lebih dikenal dikalangan sufi
berkat jawaban-jawaban yang ia tulis, al-Ajwibah
an al-As’ilah al-Siqilliyah (Jawaban atas pertanyaan orang Sisilia). Menurut Kutubi, karya tersebut berisi
pertanyan-pertanyaan penting tentang keabadian materi, sifat dan keabadian
jiwa, objek teologi dan pertanyan-pertanyaan semisal itu yang ditanyakan oleh
Frederick II dari Hohenstaufen yang disampaikan oleh Khalifah Muhahhidun Abd al-Wahid
al-Rasyid (1232-1242). Ibnu Sab’in yang kemudian tinggal di Ceuta, memberikan
jawaban yang cukup jelas dalam kerangka ortodok Islam, mengundang kaisar
Sisilia Kristen itu untuk melakukan perbincangan pribadi. Ia juga mebolak
hadiah uang yang disampaikan bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Karya
terbaik Ibnu Sab’in yang lainnya adalah sebuah buku berjudul Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyah (Hikmah Filsafat
Iluminasi), masih belum diterbitkan. Dalam sejarah Islam, ia termasuk
ilmuwan muslim yang cukup aneh karena melakukan bunuh diri dengan cara memotong
urat nadi pergelangan tangannya ketika tinggal di Mekah.
Menurut Charles H. Haskins dalam
buku Studied
in the History of Medieval Science, dalam proses peralihan khazanah ilmu
pengetahuan berbahasa Arab ke dunia Barat, Toledo yang menjaga posisinya sebagai
pusat penting pembelajaran Islam setelah kemenangan Kristen pada 1085 M,
bertindak sebagai saluran utama. Disini, melalui inisiatif Uskup Besar Raymond
I (1126-1152 M) dibangun satu sekolah khusus untuk menterjemahkan. Sekolah itu
melahirkan sejumlah besar penerjemah sejak 1135
sampai 1284 M. Para sarjana didatangkan dari berbagai pelosok Eropa,
termasuk dari Kepulauan Inggris, yang mendatangkan Michael Scot dan Robert
Chester. Pada 1145 M, Robert menghasilkan karya terjemahan pertamanya berupa
buku Aljabar karya al-Khawarizmi. Pada 1143 M, bersama Hermann “Dalmatian”
menyempurnakan terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin yang dipersembahkan untuk
Peter Yang Mulia. Di kota Toledo juga didirikan sekolah kajian orientalisme
yang pertama di Eropa pada 1250 M atas permintaan para pendeta dengan tujuan
untuk mempersiapkan para missionaris Kristen ke kalangan Islam dan Yahudi. Nama
Adelard dari Bath, yang dikatakan pernah mengunjungi Spanyol saat itu adalah
ilmuwan Inggris terbesar sebelum Roger Bacon. Setelah sementara waktu tinggal
di Sisilia dan Suriah, Adelard kembali pulang ke Latin pada 1126 M dengan
membawa skema astronomi al-Majriti, yang didasarkan atas karya al Khawarizmi
dan didalamnya membahas tentang tabel-tabel sinus. Ia juga menerjemahkan
beberapa risalah tentang matematika dan astronomi , serta menjadi salah satu
penerjemah pertama dari bahasa Arab ke Inggris. Michael Scot (w. 1236 M) yang
berasal dari Scotlandia, yang merupakan salah satu pendiri mazhab Avveroisme
Latin, pernah belajar dan bekerja di Spanyol sebelum menjadi astrolog istana
Frederick II dari Sisilia. Di kota Toledo dia menerjemahkan beberapa karya
astronomi lain milik al-Bitruji yang berjudul al-Hayah, dan karya Aristoteles
yang berjudul De cuelo et mundo yang
dikomentari oleh Ibnu Rusyd dan di Sisilia ia menerjemahkan buku berbahasa Arab
yang di persembahkan untuk Frederick. Karya terjemahan yang paling penting
adalah versi Ibnu Sina dari ilmu binatang Aristoteles, Abbreviato Avicenne De Animalibus. Tetapi penerjemah dari kota
Toledo yang paling apik dan produktif adalah Gerard dari Ctemona, yang sebelum
kematiannya pada 1187 M telah menerjemahkan ke dalam bahasa Latin versi
al-Farghani dari Almagest-nya Ptolemius, komentar Al-Farabi terhadap
Aristoteles, Elements karya Euclid, dan sejumlah risalah Aristoteles, Galen dan
Hippocrates yang seluruhnya berjumlah sekitar 71 karya berbahasa Arab.
Menurut kitab Fihrist, Kaum
Yahudi (baik yang ortodoks maupun yang telah pindah agama), memainkan peranan
penting dalam proyek terjemahan ini. Salah satu penerjemah pertama diantara
mereka adalah Abraham ben Ezra dari Toledo (w. 1167 M), seorang komentator
Alkitab termasyhur yang menerjemahkan dua risalah tentang bisang astrologi
karya sejawat seagama di Timur, Masya’allah (w 815) (kitab Fihrist Ibnu an-Nadhim). Dia juga menerjemahkan komentar al-Biruni
atas skema astronomi al-Khawarizmi. Sejawat sezaman ben Ezra, yaitu John dari
Seville (Joannes Hispalensis, sering dibingungkan oleh Kristen Mozarab), Yahudi
yang telah dibabptis, hidup di Toledo antara 1135-1153 M dibawah perlindungan
Uskup Besar Raymond dan menerjemahkan sejumlah karya aritmatika, astronomi,
kedokteran, dan filsafat karya al-Farghani, Abu Ma’syar, al-Kindi, ben Gabirol,
dan al-Ghazali. Dari semua karyanya itu, yang paling penting adalah risalah
astronomi karya al-Farghani. John diperkirakan menerjemahkan dari bahasa Arab
ke bahasa daerah, bahasa orang Castile dan sebuah asisasi kemudian
menerjemahkannya ke bahasa Latin.
Sekitar abad ke-13 M, ilmu
pengetahuan dan filsafat Arab telah dipindahkan ke Eropa, dan karya orang
Spanyol sebagai perantara telah melakukan tugasnya dengan baik. Pencapaian
intelektual tertinggi yang bergerak dari Toledo melalui Pyrenees, menemukan
jalan terbaiknya melewati Provence dan Alpine. Menurut “Vita Johannis Abbatis
Gorziensis”, G.H. Pertz, Monumenia
Germania historica scriptores rerum Germanicarum, pencapaian tersebut kemudian
mencapai kawasan Lorraine, Jerman dan Eropa Tengah, juga melintasi samudra
mencapai dataran Inggris Raya. Diantara kota-kota di sebelah selatan Perancis
yang layak untuk disebutkan adalah Marseille, tempat Raymond membuat daftar
planet berdasarkan skema edisi Toledo pada 1140 M dan Toulouse, tempat Hermann “Dalmatian” menyelesaikan
terjemahan al-Majriti dari buku Ptolemius yang berjudul Planispherium pada 1143
M, lalu kota Narbonne, tempat Abraham ben Ezra menerjemahkan komentar al-Biruni
atas skema al-Khawarizmi pada 1160 M dan kota Montpellier, yang pada abad ke-13
M menjadi pusat studi kedokteran dan astronomi paling penting di Perancis. Di sebelah
timur Perancis ada kota Cluny, yang terkenal dengan asrama biarawan tempat
tinggal beberapa pendeta Spanyol, selama abad ke-12 M menjadi pusat utama
penyebaran pengetahuan Arab. Kepala biarawan, Peter Yang Mulia, pada 1141-1143
M menyokong proyek terjemahan al-Quran pertama ke bahasa Latin, disamping
beberapa pamflet yang menyerukan perlawanan terhadap Islam. Ilmu pengetahuan
Arab, yang diperkenalkan ke Lorraine pada abad ke-10 M, menjadikan kota itu
sebagai pusat pengaruh intelektual selama dua abad berikutnya, dan kota Liege, Gorze, serta Cologne yang
termasuk kawasan Lorraine menyiapkan lahan yang subur bagi tumbuhnya pengetahuan
Arab. Dari Lorraine, tradisi ilmiah ini disebarkan ke bagian Jerman yang
lainnya, serta kawasan Norman Inggris oleh para pelajar yang dilahirkan atau
dididik di Lorraine. Pertukaran utusan antara raja-raja Jerman di utara dan
penguasan-penguasa muslim di Spanyol sering dilakukan, dan menghasilkan
kemajuan intelektual. Sejak 953 M Otto Yang Agung, salah seorang raja Jerman,
dikirim sebagai utusan John, pendeta Lorraine yang tinggal di Kordova selama
hampir tiga tahun, kemungkinan mempelajari bahasa Arab, dan pulang membawa
manuskrip-manuskrip ilmiah.
Begitulah pengetahuan Arab
Spanyol menyususpi wilayah Eropa Barat. Sungguh aneh, peradaban Arab Spanyol
yang gemilang itu lalu kemudian dihancurkan oleh orang Eropa di kemudian hari
yang notabene telah memberikan mereka ilmu pengetahuan.
Sumber :
K.H Toto Tasmara, 2010. Mengapa Yahudi Berprestasi?. Sinergi
Publishing: Jakarta.
Phillip K. Hitti, 2014. History of the Arabs.(terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi). Serambi:
Jakarta.
Gambar by republika.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar