Senin, 09 Oktober 2017

Kejayaan Islam di Spanyol: Filsafat dan Tassawuf



29 April 711 M, seorang panglima muda berdiri di suatu bukit. Matanya tajam memandang hamparan semenanjung Iberia Spanyol, yang kemudian dikenal dengan Andalusia. Ia menatap wajah para prajuritnya dan memerintahkan  untuk segera membakar 200 kapal armada perangnya. Setelah semua kapal terbakar, ia menyampaikan sebuah petuah yang sangat menarik dan heroik. Ia berkata “wahai para prajuritku yang gagah perkasa! Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang dan musush di depn kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran. Ingatlah, jadilah muslim terhormat atau mati sebagai syuhada”. Siapakah gerangan panglima muda itu? Ia adalah Thariq bin Ziyad. Sebuah nama yang sangat melegenda. Kelak, bukit tempat ia pertama kali menjejakkan kakinya di Iberia disebut sebagai “Jabal ath-Thariq” atau dalam lidah Barat dikenal dengan nama “Gibraltar”.
Misi Thariq bin Ziyad adalah membebaskan rakyat Spanyol dari kezaliman serta penindasan raja dan kaum bangsawan. Khususnya, raja Roderick dari Visighot yang telah memperkosa Florinda (putri tunggal Julian, gubernur Ceuta). Florinda akhirnya bunuh diri karena merasa terhina dan tidak kuat menanggung malu. Menurut Phillip K. Hitti, kelak Julian adalah penyedia kapal yang digunakan oleh pasukan muslim. Julian meminta kepada Musa bin Nushair (Gubernur Maghribi) untuk dapat membalaskan rasa sakitnya. Permintaan Julian disambut oleh Musa bin Nushair karena memang sudah lama umat Islam mendengar penderitaan rakyat yang tertindas di Spanyol dan belahan benua Eropa lain akibat sistem kerajaan yang absolut. Inilah alasan utama Musa bin Nushair menunjuk Thariq bin Ziyad yang masih muda untuk memimpin pasukan sebagai bentuk aktualisasi wahyu Illahiyah untuk membebaskan umat manusia dari segala bentuk kezaliman. Dalam ajaran Islam, penyelamatan nilai kemanusiaan adalah amanah Ilahi yang merupakan hukum paling tinggi.
Perbandingan antara kedua pasukan adalah 1:10. Pasukan Thariq bin Ziyad terdiri dari 7000 orang, sedangkan Raja Roderick 70000 dilengkapi pasukan berkuda. Meski tidak sebanding, tetapi kekuatan pasukan muslim saat itu teruji baik kualitas prajurit maupun pemimpinnya. Ini mengingatkan kembali saat 24000 pasukan Islam melawan 100000 pasukan Romawi di Yarmuk atau saat 48000 pasukan Islam melawan 130000 pasukan Persia di Qaddisiyah.
Tanggal 19 Juli 711 M, pasukan Thariq bin Ziyad mampu memenangkan pertempuran yang menentukan di Guadalete. Roderick mencoba melarikan diri dengan menyebrang sungai, tetapi ia mati tenggelam. Kemenangan Thariq bin Ziyad adalah tonggak dimulainya pencerahan di dunia Eropa. Dibawah kekuasaan Islam, agama Yahudi, Kristen dan Islam mampu hidup berdampingan secara harmonis bagaikan sahabat selama 600 tahun. Orang Yahudi mengalami kebangkitan spiritual di Spanyol (yang nantinya diikuti umat Kristiani di belahan Eropa lain). Mereka menimba ilmu dari para cendekiawan muslim dsn mereka tidak menjadi korban kebencian para penguasa Kristen seperti yang terjadi di wilayah Eropa lainnya. Tidak ada undang-undang propaganda kebencian Kristen atau Yahudi di wilayah kekuasaan Islam. Mereka dilindungi secara penuh. Bahkan menurut Karen Amstrong dalam bukunya Berperang Demi Tuhan, kaum Yahudi di negara Islam tidak dibantai. Tidak ada tradisi antisemitisme yang tumbuh. Mereka benar-benar diberi kebebasan untuk menjalankan urusan mereka sesuai keyakinannya. Pembantaian kaum Yahudi justru terjadi saat kelak Andalusia atau Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, bebarengan dengan diusirnya kaum muslim.
Para sejarawan telah bersepakat bahwa pada zaman itu kekuasaan Islam berperan sebagai super power yang mewakili peradaban modern selanjutnya. Ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dikembangkan. Tidak ayal lagi, Andalusia adalah mata rantai, bahkan pelopor yang menghantarkan lahirnya peradaban modern sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Tanpa Andalusia, dunia akan tetap tersembunyi dalam kegelapan. Ajaran mulia Al-Quran telah melahirkan budaya toleransi yang belum pernah ada oelh bangsa-bangsa sebelumnya. Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas yale berpendapat bahwa “toleransi merupakan aspek yang melekat pada masyarakat Andalusia”. Orang-orang Yahudi atau Kristen yang dianggap terlarang (di negeri mereka) dari seluruh Eropa datang ke Andalusia, dimana mereka diterima sebab toleransi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadi sebab kemenangan Thariq bin Ziyad, yaitu dukungan penduduk setempat. Penduduk asli merasa terkesan dengan akhlak personel pasukan Thariq. Mereka merasa terbebaskan dan sangat percaya bahwa rakyat Andalusia akan memperoleh keadilan dan kesejahteraan serta terbebas dari penindasan raja, bangsawan, bourgouise dan landlord (tuan tanah) yang menyengsarakan penduduk dengan membayar pajak yang sangat tinggi. Sistem pemerintahan Islam yang bersifat desentralisasi telah memberikan kesempatan kepada setiap wilayah untuk mengembangkan perekonomiannya.
Puncak pencapaian intelektual muslim Spanyol terjadi dalam arena pemikiran filsafat. Dalam bidang ini, mereka membentuk mata terakhir dan paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan filsafat Yunani yang telah diubah oleh mereka dan kerabat mereka di Timur Tengah dengan pemikiran Latin Barat. Filsafat yang dikembangkan oleh orang Yunani dan agama monoteistik yang dikembangkan oleh nabi-nabi Ibrani adalah warisan paling kaya yang berasal dari kebudayaan Barat dan Timur kuno. Berkat para pemikir muslim Baghdad dan Spanyol Abad Pertengahan, dua arus pemikiran itu bisa dipadukan dibawa dalam harmoni menuju Eropa. Mereka memberi kontribusi yang sangat penting pada peradaban. Limpahan arus intelektual itu menumbuhkan gagasan dan pemikiran baru di Eropa Barat, terutama pemikiran filsafat dan menjadi titik awal berakhirnya “zaman kegelapan”, serta menyingsingnya fajar skolastik. Dikobarkan oleh persentuhan antara pemikiran orang Arab dan dipacu oleh khazanah pengetahuan Yunani kuno, ketertarikan bangsa Eropa dalam pengetahuan dan filsafat, memimpin mereka menuju kemandirian dan dengan cepat mengembangkan kehidupan intelek tual mereka sendiri yang hasilnya bisa kita lihat sendiri saat ini.
Diantara filosof-filosof pertama Arab Spanyol adalah Solomon ben Gabirol (Avicebron, Avencebrol), seorang Yahudi. Ia lahir di Malaga sekitar 1021 M, dan meninggal di Valencia sekitar 1058 M. Sebagai guru besar pertama aliran neo-Platonis di Barat, ben Gabirol sering disebut sebagai Plato-Yahudi. Seperti halnya ibn Masarrah, filosof sebelumnya, ia adalah pembela utama sistem filsafat yang berkiblat pada Empedocles. Ribuan tahun sebelum zamannya, filsafat Plato telah ditemukan oleh Philo, ahli filsafat Helenistik Yahudi dari Iskandariyah. Karya utama ben Gabirol adalah Yanbu’ al-Hayyah (Sumber Kehidupan). Karyanya telah diterjemahkan  ke dalam bahasa Latin pada 1150 M dengan judul Fonsvitae yang memainkan peranan penting dalam skolasitisme Abad Pertengahan, dan mengilhami munculnya aliran Fransiskan.
Pada abad ke-12 merupakan abad terbesar dalam sejarah pemikiran filsafat muslim-Spanyol. Abad ini dibuka oleh Abu Bakr Muhammad ibn Yahya ibn Bajjah (Avenpace, Avempace), seorang filosof, ilmuwan, dokter, musisi, dan komentator pemikiran Aristoteles. Ibnu Bajjah tumbuh di Granada dan Saragossa, dan meninggal di Fez pada 1138 M. Ibnu Bajjah menulis beberapa risalah dalam bidang astronomi yang mengkritik asumsi-asumsi Ptolemius dan membuka jalan untuk Ibnu Thufayl dan al-Bitruji. Risalah-risalah lain Ibnu Bajjah juga mengupas masalah kedokteran (materia medica) yang dikutip oelh Ibnu al-Baythar dan beberapa karyanya yang lain masih dalam bidang kedokteran, banyak memengaruhi pemikiran Ibnu Rusyd. Menurut Ibnu Khallikan, karya Ibnu Bajjah  yang paling penting, satu-satunya karya yang masih ada, selain surat perpisahan untuk temannya, adalah risalah filsafat berjudul Tadbir Al-Mutawahhid (De Regimine Solitarii, Rezim Yang Sendirian), yang hanya tersedia dalam bentuk abtrasi berbahasa Ibrani. Tujuan buku itu adalah menunjukan bagaimana manusia yang lemah bisa mencapai persatuan dengan intelek Aktif, dan untuk mengajarkan bahwa pencapaian kesempurnaan jiwa manusia secara bertahap dengan zat Ilahi merupakan tujuan filsafat. Para penulis biografi muslim menganggap bahwa Ibnu Bajjah adalah seorang Ateis.
Pemikiran filsafat Ibnu Bajjah telah membawa selangkah lebih maju oleh Abu Bakr (Abubacer) Muhammad ibn ‘Abd al-Malik ibn Thufayl, seorang ahli filsafat neo-Platonis yang belajar ilmu kedokteran di Granada, dan terakhir menjadi penasihat sekaligus kepala tabib istana Dinasti Muhwahidun pada masa khalifah Abu Ya’qub Yusuf (1163-1184 M). Sebuah kombinasi  jabatan yang tidak biasa didapat di sebuah negara Islam. Pada 1182 M ia menyerahkan posisinya sebagai tabib istana dan digantikan oleh kawannya yang usianya lebih muda dan juga seorang ahli filsafat yaitu Ibnu Rusyd, yang ia rekomendasikan kepada khalifah. Dua orang termasyhur ini menorehkan jasa yang tak terhapus di dalam istana Dinasti Muwahhidun, sebuah dinasti puritan dalam teologi, namun liberal dalam perlindungannya atas pemikiran filsafat. Lahir pada dekade pertama abad ke-12 M, Ibnu Thufayl meninggal pada 1185 M di ibukota Muwahhidun, Maroko. Penyokonganya yang kedua, khalifah Abu Yusuf al-Manshur (1184-1199) menghadiri prosesi pemakamannya. Karya besarnya adalah roman filsafat yang orisinil berjudul Hayy ibn Yaqzhan (Yang Hidup, Anak Kesadaran), yang gagasan utamanya menunjukkan bahwa manusia dengan kapasitas yang dimilikinya tanpa bantuan sedikit pun dari luar mampu mencapai pengetahuan tentang dunia yang lebih tinggi, dan secara bertahap bisa menemukan ketergantungannya dengan Realitas Puncak. Cerita ini, salah satu kisah paling orisinil, dan paling menghibur dalam sejarah sastra Abad Pertengahan, pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Edward Pococke (1671), lalu ke dalam sebagian besar bahasa Eropa, termasuk Belanda (1672), Rusia (1920), dan Spanyol (1934). Sebagian orang melihat bahwa novel Robinson Crusoe bersumber dari roman filsafat ini. Teori yang dibangunnya adalah teori evolusi. Ibnu Thufayl meminjam karakter kisahnya dari kisah pendek karya Ibnu Sina dengan judul yang sama, tetapi Thufayl mengambil inspirasinya dari penulis terdahulu sejak al-Farabi.
Filosof muslim terbesar yang dinilai dari pengetahuanya atas dunia Barat adalah astronom Arab-Spanyol, juga dokter dan komentator Aristoteles, yaitu Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (Averoes). Ia lahir di Kordova pada 1126 m dari kalangan terhormat yang telah melahirkan beberapa teolog dan hakim. Pada 1169-1171 M, ia sendiri menjabat sebagai Qadhi (Hakim Agung) di Seville, dan dua tahun berikutnya di Kordova. Pada tahun 1182, ia dipanggil ke Maroko oleh Abu Ya’qub Yusuf untuk menggantikan Ibnu Thufayl sebagai dokter istana. Anak laki-laki Yusuf, dan pengganti al-Manshur mendepak Ibnu Rusyd pada 1194 M dengan tuduhan sebagai pelaku bid'ah karena kajian-kajian filsafatnya, tetapi belakangan ia dipanggil kembali ke Marakesy, tempat ia meninggal tidak lama setelah itu, tepatnya pada 10 Desember 1198 M. Jenazahnya kemudian dipindah ke Kordova. Sumbangan paling penting Ibnu Rusyd utnuk ilmu kedokteran adalah karya ensiklopedia berjudul Al-Khuliyat Fi Al-Thibb (Generalitas Dalam Kedokteran), yang diantaranya menyatakan bahwa orang yang telah biasa terkena cacar air tidak mungkin terserang lagi untuk kedua kalinya, dan ia juga menjelaskan fungsi retina dengan penjelasan yang bisa dimengerti. Tetapi sosok Ibnu Rusyd sebagai dokter tenggelam oleh sosok Ibnu Rusyd sebagai filosof dan komentator. Karya filsafatnya yang paling penting disamping komentar-komentarnya adalah Tahafut al-Tahafut (Kacaunya Kekacauan), sebagai jawaban terhadap serangan al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya yang berjudul Tahafut a-Falasifah (Kekacauan Filsafat ). Berkat karya itulah Ibnu Rusyd menjadi filosof paling tenar di dunia Islam. Sedangkan di kalangan Yahudi dan Kristen, ia lebih dikenal sebagai komentator pada filsafat Aristoteles. Seorang komentator pada Abad Pertengahan adalah orang yang menulis sebuah karya ilmiah atau filsafat menggunakan beberapa karya penulis sebelumnya sebagai latar belakang, atau kerangka penulisan karyanya. Komentar-komentar Ibnu Rusyd merupakan rangkaian-rangkaian yang sebagian menggunakan judul-judul karya Aristoteles dan memparafrasekan isi karya-karya tersebut. Ibnu Rusyd tidak memahami bahasa Yunani, sehingga ia bersandar pada terjemahan yang dibuat para pendahulunya di Baghdad. Sebagai seorang filosof besar yang menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Rusyd tidak meninggalkan seorang pun penerus di dunia Islam. Ia lebih banyak diminati oleh dunia Kristen Eropa dibanding dunia muslim Asia atau Afrika.
Diantara sekian banyak filosof abad itu, yang paling berhak menempati tempat pertama setelah Ibnu Rusyd hanyalah kerabatnya sezaman yang beragama Yahudi dan berasal dari Kordova, yaitu Abu Imran Musa bin Maymun (bahasa Ibrani Mosheh ben Maimon, bahasa Latin Maimonides), dokter dan filosof Ibrani paling kondang di seluruh penjuru Arab. Ibnu Maymun lahir di Kordova sekitar 1165 M. Menurut al-Qifthi dan Ibnu abi Ushaybi’ah, bahwa di Spanyol Ibnu Maymun mengaku beragama Islam di depan umum, tapi diam-diam mempraktikkan keyakinan Yahudi. Di Kairo ia menjadi dokter istana khalifah terkenal Shalah al-Din (Saladin) dan anaknya al-Malik al Aziz. Sejak 1177 M ia menjadi kepala kantor keagamaan Yahudi di Kairo, kota tempat meninggalnya pada 1204 M. Sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa mengikuti rute perjalanan Nabi Musa dan dimakamkan di Tiberias. Ibnu Maymun dikenal sebagai astronom, teolog, tabib, dan yang paling penting sebagai seorang filosof. Ilmu kedokteran standar Galenisme pada zamannya yang berasal dari ar-Razi, Ibnu Sina dan Ibnu Zuhr, dihidupkan oleh kritik rasional yang didasarkan atas sejumlah penelitian pribadi yang ia lakukan. Ibnu Maymun menyempurnakan metode sunat atau khitan, menganggap hemorrnoid sebagai penyakit sembelit, menganjurkan metode  diet ringan memakan sayur-sayuran sebagai langkah pengobatan dan mengajukan gagasan ilmu kesehatan yang maju. Karyanya yang terkenal dibidang kedokteran adalah al-Fushal fi al-Thibb (Aforisme dalam Kedokteran). Karyanya dibidang filsafat berjudul Dalalat Al-Ha’irin (Penuntun Untuk Orang Yang Bingung).
Karya-karya Ibnu Rusyd kecuali yang terbesar, ditulis dengan bahsa Arab tetapi dengab karakter-karakter Ibrani, lalu sebagiannya diterjemahkan ke bahasa Latin. Karya-karyanya sangat berpengaruh melampaui batas ruang dan waktu, khususnya pada orang Yahudi dan Kristen. Memasuki abad ke-18, karya-karyanya tetap menjadi media utma untuk menyampaikan pemikiran pemikiran Yahudi ke non-Yahudi (gentile). Para peneliti modern menelusuri jejak-jejak pengaruhnya didapati pada pemikiran orang Dominika, sebagaimana terungkap dalam karya Albertus Magnus, dalam karya saingan Albertus yaitu Duns Scotus dalam pemikiran Spinoza, bahkan dalam filsafat Immanuel Kant.
Dalam dunia Tassawuf, sufi terkenal periode ini adalah seorang mistik Arab Spanyol yaitu Abu Bakr Muhammad bin Ali Muhyi al-Din ibn Arabi yang menjadi sufi spekulatif terbesar dalam sejarah tassawuf. Menurut Ibnu al-Jawzi dalam Mir’al al-Zaman, Ibnu Arabi lahir di Murcia (Mursiyah) pada 1165 M dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Seville sampai 1202, ketika ia melakukan ibadah haji dan kemudian tinggal di Timur sampai kematiannya di Damaskus pada 1240 M. Di kota itulah terletak makamnya yang terlindung di dalam masjid. Bagi para pengikutnya, Ibnu Arabi adalah al-syaikh al-akbar, guru besar. Ajaran-ajaran mistiknya terpatri dalam sebuah karyanya yang memukau. Diantara sekian banyak karyanya, yang paling berpengaruh adalah al-Futuhat al-Makkiyah (Penyingkapan Mekah) dan Fushush al-Hikam (Kantong-Kantong Kebijaksanaan). Dalam karyanya itu, terdapat satu tulisan berjudul Kimiyya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), yang mengandung alegori esoteris, mengibaratkan pendakian seorang manusia menuju surga. Dalam karyanya yang lain, yang belum diterbitkan berjudul al-Isra ila Maqam al-Asra (Perjalanan Malam Menuju Puncak), ia mengembangkan tema pendakian Nabi sampai langit ketujuh. Karyanya itu muncul lebih dulu dari Dante Aliegri.
Menurut Al-Maqqari, dalam fikih, Ibnu Arabi menganut mazhab Zahiriyah (literalis) mengikuti kerabatnya setanah air, yakni Ibnu Hazm; sedangkan masalah keyakinan spekulatif, ia merupakan pelopor aliran Batiniyah (esoteris). Dalam hal filsafat, Ibnu Arabi dalam bukunya Turjuman al-Asywaq menjelaskan ia adalah seorang monist-panteistik, sebagaimana terungkap dalam ajaran wahdah al-wujud-nya (Kesatuan Eksistensi). Tema utamanya adalah bahwa segala sesuatu pra-ada sebagai ide-ide (a’yan tsabitah) dalam ilmu pengethuan Tuhan, yang darinya mereka berasal dana kepadanya mereka kembali. Tidak ada creatio ex-nihilo, dunia semata merupakan aspek luar dari Tuhan, yang merupakan aspek dalamnya. Antara wujud dan sifatnya, yaitu Tuhan dan alam semesta, tidak ada perbedaan yang nyata. Dari sinilah tassawuf Islam bersentuhan dengan gagasan panteisme. Tuhan mengejawantahkan diri-Nya pada manusia, dan manusia sempurna (al-insan al-kamil) adalah bisa dipastikan bahwa itu Muhammad SAW. Muhammad SAW adalah juga kalimah, logos, seperti halnya Isa. Seorang sufi sejati dalam pandangan Ibnu Arabi hanya memiliki satu penuntun, cahaya batin, dan akan bisa menemukan Tuhan dalam agama apapun.
Mazhab iluminasi, atau pencerahan (isyraqiyah), yang diwakili oleh filosof Spanyol terbesar Ibnu Arabi, tersebar luas tidak hanya memengaruhi lingkaran-lingkaran sufi Persia dan Turki, tetapi juga ikut membentuk mazhab skolastik Kristen yang sering disebut mazhab Augustinian, seperti Duns Scotus, Roger Bacon dan Raymond Lull. Orang Murcia lain, Abu Muhammad Abd al-Haqq ibn Sab’in (1217-1260 M), menganut dan mengembangkan pemikiran dan karya yang serupa dengan Ibnu Arabi. Kedudukaannya yang utama dalam lingkaran sufi memberinya gelar Quthb al-Din (poros agama). Tapi ia lebih dikenal dikalangan sufi berkat jawaban-jawaban yang ia tulis, al-Ajwibah an al-As’ilah al-Siqilliyah (Jawaban atas pertanyaan orang Sisilia). Menurut Kutubi, karya tersebut berisi pertanyan-pertanyaan penting tentang keabadian materi, sifat dan keabadian jiwa, objek teologi dan pertanyan-pertanyaan semisal itu yang ditanyakan oleh Frederick II dari Hohenstaufen yang disampaikan oleh Khalifah Muhahhidun Abd al-Wahid al-Rasyid (1232-1242). Ibnu Sab’in yang kemudian tinggal di Ceuta, memberikan jawaban yang cukup jelas dalam kerangka ortodok Islam, mengundang kaisar Sisilia Kristen itu untuk melakukan perbincangan pribadi. Ia juga mebolak hadiah uang yang disampaikan bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Karya terbaik Ibnu Sab’in yang lainnya adalah sebuah buku berjudul Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyah (Hikmah Filsafat Iluminasi), masih belum diterbitkan. Dalam sejarah Islam, ia termasuk ilmuwan muslim yang cukup aneh karena melakukan bunuh diri dengan cara memotong urat nadi pergelangan tangannya ketika tinggal di Mekah.
Menurut Charles H. Haskins dalam buku  Studied in the History of Medieval Science, dalam proses peralihan khazanah ilmu pengetahuan berbahasa Arab ke dunia Barat, Toledo yang menjaga posisinya sebagai pusat penting pembelajaran Islam setelah kemenangan Kristen pada 1085 M, bertindak sebagai saluran utama. Disini, melalui inisiatif Uskup Besar Raymond I (1126-1152 M) dibangun satu sekolah khusus untuk menterjemahkan. Sekolah itu melahirkan sejumlah besar penerjemah sejak 1135  sampai 1284 M. Para sarjana didatangkan dari berbagai pelosok Eropa, termasuk dari Kepulauan Inggris, yang mendatangkan Michael Scot dan Robert Chester. Pada 1145 M, Robert menghasilkan karya terjemahan pertamanya berupa buku Aljabar karya al-Khawarizmi. Pada 1143 M, bersama Hermann “Dalmatian” menyempurnakan terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin yang dipersembahkan untuk Peter Yang Mulia. Di kota Toledo juga didirikan sekolah kajian orientalisme yang pertama di Eropa pada 1250 M atas permintaan para pendeta dengan tujuan untuk mempersiapkan para missionaris Kristen ke kalangan Islam dan Yahudi. Nama Adelard dari Bath, yang dikatakan pernah mengunjungi Spanyol saat itu adalah ilmuwan Inggris terbesar sebelum Roger Bacon. Setelah sementara waktu tinggal di Sisilia dan Suriah, Adelard kembali pulang ke Latin pada 1126 M dengan membawa skema astronomi al-Majriti, yang didasarkan atas karya al Khawarizmi dan didalamnya membahas tentang tabel-tabel sinus. Ia juga menerjemahkan beberapa risalah tentang matematika dan astronomi , serta menjadi salah satu penerjemah pertama dari bahasa Arab ke Inggris. Michael Scot (w. 1236 M) yang berasal dari Scotlandia, yang merupakan salah satu pendiri mazhab Avveroisme Latin, pernah belajar dan bekerja di Spanyol sebelum menjadi astrolog istana Frederick II dari Sisilia. Di kota Toledo dia menerjemahkan beberapa karya astronomi lain milik al-Bitruji yang berjudul al-Hayah, dan karya Aristoteles yang berjudul De cuelo et mundo yang dikomentari oleh Ibnu Rusyd dan di Sisilia ia menerjemahkan buku berbahasa Arab yang di persembahkan untuk Frederick. Karya terjemahan yang paling penting adalah versi Ibnu Sina dari ilmu binatang Aristoteles, Abbreviato Avicenne De Animalibus. Tetapi penerjemah dari kota Toledo yang paling apik dan produktif adalah Gerard dari Ctemona, yang sebelum kematiannya pada 1187 M telah menerjemahkan ke dalam bahasa Latin versi al-Farghani dari Almagest-nya Ptolemius, komentar Al-Farabi terhadap Aristoteles, Elements karya Euclid, dan sejumlah risalah Aristoteles, Galen dan Hippocrates yang seluruhnya berjumlah sekitar 71 karya berbahasa Arab.
Menurut kitab Fihrist, Kaum Yahudi (baik yang ortodoks maupun yang telah pindah agama), memainkan peranan penting dalam proyek terjemahan ini. Salah satu penerjemah pertama diantara mereka adalah Abraham ben Ezra dari Toledo (w. 1167 M), seorang komentator Alkitab termasyhur yang menerjemahkan dua risalah tentang bisang astrologi karya sejawat seagama di Timur, Masya’allah (w 815) (kitab Fihrist Ibnu an-Nadhim). Dia juga menerjemahkan komentar al-Biruni atas skema astronomi al-Khawarizmi. Sejawat sezaman ben Ezra, yaitu John dari Seville (Joannes Hispalensis, sering dibingungkan oleh Kristen Mozarab), Yahudi yang telah dibabptis, hidup di Toledo antara 1135-1153 M dibawah perlindungan Uskup Besar Raymond dan menerjemahkan sejumlah karya aritmatika, astronomi, kedokteran, dan filsafat karya al-Farghani, Abu Ma’syar, al-Kindi, ben Gabirol, dan al-Ghazali. Dari semua karyanya itu, yang paling penting adalah risalah astronomi karya al-Farghani. John diperkirakan menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa daerah, bahasa orang Castile dan sebuah asisasi kemudian menerjemahkannya ke bahasa Latin.
Sekitar abad ke-13 M, ilmu pengetahuan dan filsafat Arab telah dipindahkan ke Eropa, dan karya orang Spanyol sebagai perantara telah melakukan tugasnya dengan baik. Pencapaian intelektual tertinggi yang bergerak dari Toledo melalui Pyrenees, menemukan jalan terbaiknya melewati Provence dan Alpine. Menurut “Vita Johannis Abbatis Gorziensis”, G.H. Pertz, Monumenia Germania historica scriptores rerum Germanicarum, pencapaian tersebut kemudian mencapai kawasan Lorraine, Jerman dan Eropa Tengah, juga melintasi samudra mencapai dataran Inggris Raya. Diantara kota-kota di sebelah selatan Perancis yang layak untuk disebutkan adalah Marseille, tempat Raymond membuat daftar planet berdasarkan skema edisi Toledo pada 1140 M dan Toulouse,  tempat Hermann “Dalmatian” menyelesaikan terjemahan al-Majriti dari buku Ptolemius yang berjudul Planispherium pada 1143 M, lalu kota Narbonne, tempat Abraham ben Ezra menerjemahkan komentar al-Biruni atas skema al-Khawarizmi pada 1160 M dan kota Montpellier, yang pada abad ke-13 M menjadi pusat studi kedokteran dan astronomi paling penting di Perancis. Di sebelah timur Perancis ada kota Cluny, yang terkenal dengan asrama biarawan tempat tinggal beberapa pendeta Spanyol, selama abad ke-12 M menjadi pusat utama penyebaran pengetahuan Arab. Kepala biarawan, Peter Yang Mulia, pada 1141-1143 M menyokong proyek terjemahan al-Quran pertama ke bahasa Latin, disamping beberapa pamflet yang menyerukan perlawanan terhadap Islam. Ilmu pengetahuan Arab, yang diperkenalkan ke Lorraine pada abad ke-10 M, menjadikan kota itu sebagai pusat pengaruh intelektual selama dua abad berikutnya,  dan kota Liege, Gorze, serta Cologne yang termasuk kawasan Lorraine menyiapkan lahan yang subur bagi tumbuhnya pengetahuan Arab. Dari Lorraine, tradisi ilmiah ini disebarkan ke bagian Jerman yang lainnya, serta kawasan Norman Inggris oleh para pelajar yang dilahirkan atau dididik di Lorraine. Pertukaran utusan antara raja-raja Jerman di utara dan penguasan-penguasa muslim di Spanyol sering dilakukan, dan menghasilkan kemajuan intelektual. Sejak 953 M Otto Yang Agung, salah seorang raja Jerman, dikirim sebagai utusan John, pendeta Lorraine yang tinggal di Kordova selama hampir tiga tahun, kemungkinan mempelajari bahasa Arab, dan pulang membawa manuskrip-manuskrip ilmiah.
Begitulah pengetahuan Arab Spanyol menyususpi wilayah Eropa Barat. Sungguh aneh, peradaban Arab Spanyol yang gemilang itu lalu kemudian dihancurkan oleh orang Eropa di kemudian hari yang notabene telah memberikan mereka ilmu pengetahuan.

Sumber :
K.H Toto Tasmara, 2010. Mengapa Yahudi Berprestasi?. Sinergi Publishing: Jakarta.
Phillip K. Hitti, 2014. History of the Arabs.(terjemahan  R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi). Serambi: Jakarta.
Gambar by republika.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KERAJAAN MARITIM HINDU-BUDHA DI INDONESIA (HABIS)

6. Kerajaan Kediri Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222....