Menurut Sami Hadawi dan Bitter Harvest (Delmar, N. Y: the Caravan Books, 1979), pada tahun
1917 M, terdapat 56.000 orang Yahudi di Palestina dan 644.000 orang Arab
Palestina. Pada tahun 1922 M, terdapat 83.794 orang Yahudi dan 663.000 orang
Arab Palestina. Pada tahun 1931, terdapat 174.616 orang Yahudi dan 7500.000
orang Arab Palestina.
Kerjasama
dengan Kolonialis Inggris
Berkat tempaan persekutuan diam-diam dengan Inggirs,
kaum Zionis mendapat dukungan atas perebutan terhadap tanah Palestina. Proses
ini diceritakan oleh seorang penyair dan analisis Marxist Palestina, Ghassan
Kanafani :
“selain fakta
bahwa bagian terbesar modal milik Yahudi dialokasikan ke wilayah pedesaan dan
kehadiran kekuatan militer Inggris dan tekanan luar biasa yang dilakukan oleh
mesin-mesin administrasinya, yang cenderung mendukung kaum Zionis, kaum Zionis
hanya menerima hasil minimum sehubungan dengan pendudukan lahan tersebut. Meski
demikian, mereka merusak status kepemilikan populasi pedesaan Arab. Kepemilikan
kelompok, kelompok Yahudi atas tanah kota dan pedesaan meningkat dari 300.000
dunum (67.000 akre) pada tahun 1929 M hingga 1.250.000 dunum (280.000 akre)
pada tahun 1930 M. Dalam hal ini, pembelian tanah merupakan hal yang tidak
signifikan jika dipandang dari sudut pandang kolonisasi massal dan pendirian
pemukiman Yahudi. Namun, pengambil-alihan satu juta dunum hampir sepertiga
tanah pertanian yang berakibat pada pemiskinan para petani dan orang-orang
Badui Arab”.
Ghassan Kanafani dalam Revolt in Palestine mengatakan, pada tahun 1931 M, 20.000 keluarga
petani diusir oleh kaum Zionis. Lebih jauh, petani di negara-negara berkembang
dan dunia Arab khususnya, bukanlah soal produksi, namun setara dengan gaya
hidup secara sosial, religius dan ritual. Dengan demikian, selain kehilangan
tanah, masyarakat Arab pedesaan sedang dibinasakan oleh proses kolonisasi.
Imperialisme Inggris telah menyebabkan terjadinya
destabilisasi ekonomi atas perekonomian pribumi Palestina. Pemerintahan Mandat
memberi privilese untuk modal Yahudi yang menghadiahkan 90% konsesi di
palestina kepada mereka. Hal ini memungkinkan kaum Zionis menguasai
infrastruktur ekonomi (proyek jalan, mineral laut Mati, listrik, pelabuhan
dll). Menjelang tahun 1935 M, kaum Zionis mengontrol 872 perusahaan dari 1212 perusahaan
di Palestina. Impor barang-barang produk kaum Zionis dibebaskan dari pajak.
Undang-undang tenaga kerja yang diskriminatif yang diberlakukan pada kaum
pekerja Arab menyebabkan angka pengangguran dan tingkat kehidupan dibawah
standar bagi orang-orang yang tidak dapat menemukan pekerjaan.
Pemberontakan
tahun 1936 M
Kehilangan tanah dan penindasan mempertinggi kesadaran
orang-orang Palestina atas nasib yang menimpa mereka, dan menyebabkan
terjadinya pemberontakan hebat yang berlangsung dari 1936 hingga tahun 1929 M.
Pemberontakan tersebut mengambil bentuk pembangkangan sipil dan kerusuhan
bersenjata. Para petani meninggalkan desa-desa mereka untuk bergabung dengan
unit-unit perjuangan yang didirikan di kawasan pegunungan. Nasionalis Arab dari
Suriah dan Yordania segera bergabung dalam unit-unit tersebut.
Pada tanggal 7 Mei 1936 M, diambil keputusan untuk
tidak membayar pajak dalam suatu konferensi yang dihadiri oleh 150 delegasi
yang mewakili seluruh populasi dan suatu pemogokan umum melanda Palestina.
Inggris memberi reaksi cepat dan kasar.
Hukum darurat perang diumumkan 30 Juli 1936 M, kira-kira lima bulan setelah
pemberontakan dan penindasan tersebar luas tak terkendali. Seseorang yang dicurigai mengorganisasi atau
bersimpati terhadap pemogokan tersebut akan ditangkap. Rumah-rumah diledakan di
seluruh Palestina. Pada 18 Juni 1936 M, sebagian besar kota Jaffa
dibumihanguskan oleh Inggris. Menyebabkan 6000 orang lebih menjadi tuna wisma.
Rumah-rumah yang berada di sekitar tempat tersebut juga dihancurkan. Inggris
mengirim sejumlah besar pasukan (sekitar 2000 personil) ke Palestina untuk
memadamkan pemberontakan. Pada akhir tahun 1937 M dan awal tahun 1938 M,
militer Inggris kehilangan kendali atas pemberontakan bersenjata rakyat.
Kaum Zionis
sebagai Penegak Ketertiban
Dalam posisi inilah Inggris mulai mengandalkan kaum Zionis,
yang memberi Inggris sumber daya unik yang tidak pernah mereka dapatkan di
wilayah koloni lainnya; kekuatan lokal yang menjadi kekuatan kolonialisme
Inggris dan mudah digerakkan untuk menekan penduduk pribumi. Jika sebelum masa
tersebut kaum Zionis tetap menangani banyak tugas balas dendam terhadap
penduduk pribumi, kali ini mereka memainkan satu peran lebih besar dalam
penindasan yang meliputi penangkapan, pembantaian, dan eksekusi massal. Pada tahun
1938 M, 5000 orang Palestina ditahan, 2000 orang diantaranya dihukum untuk
penjara; 148 orang dieksekusi gantung dan lebih dari 5000 rumah dirobohkan. Militer
Zionis terintegrasi dengan intelijen Inggris dan menjadi polisi dari
pemeritahan draconian Inggris. Suatu “kekuatan
kuasi-polisi” dibentuk guna melindungi kehadiran para kaum Zionis
bersenjata yang didukung oleh Inggris. Terdapat 2863 orang calon untuk kekuatan
kuasi polisi ini, 12000 orang terorganisasi dalah Haganah dan 3000 orang dalam
Organisasi Militer Nasional Jaboitynsky (Irgun). Pada musim panas 1937 M,
kekuatan kuasi polisi dinamakan “Pertahanan
Koloni-Koloni Yahudi” dan selanjutnya “Polisi
Koloni” (Ghassan Kanafani).
Ben Gurion, menyebut kekuatan kuasi polisi sebagai
suatu “kerangka kerja” ideal untuk
pelatihan terhadap Haganah. Charles Orde Wingate, perwira Inggris yang
berwenang, pada dasarnya adalah pendiri dari angkatan perang Israel. Ia melatih
figur-figur seperti Moshe Dayan dalam terorisme dan pembantaian. Menjelang tahun
1939 M, kekuatan kaum Zionis yang bekerja sama dengan Inggris meningkat hingga
14411 orang yang terorganisasi dengan baik dalam sepuluh kelompok bersenjata.
Polisi Koloni dipimpin oleh perwira Inggris, dengan seorang pejabat agen Yahudi
sebagai pemegang komando kedua. Menjelang musim semi tahun 1939 M, kekuatan
kaum Zionis mencapai 63 unit, masing-masing terdiri atas 8 sampai 10 orang
laki-laki.
Laporan Peel
Suatu komisi pengawas kerajaan didirikan tahun 1937 M,
dibawah arahan Lord Peel untuk mencari tahu penyebab pemberontakan tahun 1936
M. Komisi pengawas Peel tersebut menyimpulkan bahwa faktor utama penyebab
pemberontakan adalah keinginan Palestina untuk merdeka dan kekuatan Palestina
menyangkut penetapan suatu koloni kaum Zionis di atas tanah atau negeri mereka.
Laporan Peel menganalisis serangkaian faktor lain :
- Penyebaran spirit nasionalisme Arab di luar Palestina.
- Imigrasi Yahudi yang meningkat setelah 1933 M.
- Kemampuan kaum Zionis dalam mendominasi pendapat umum (opini publik) di Inggris karena dukungan diam-diam dari pemerintah Inggris.
- Ketidakpercayaan Arab terhadap niat baik pemerintah Inggris.
- Ketakutan orang-orang Palestina atas pembelian tanah oleh orang-orang Yahudi karena tak adanya tuan tanah yang menjual tanah dan terusirnya petani Palestina yang menggarap tanah-tanah tersebut.
- Pengelakan pemerintah Mandat terhadap hal-hal yang berkaitan kedaulatan Palestina.
Menurut Ghassan Kanafani, gerakan nasional terdiri
atas kaum borjuis urban, tuan tanah, pemimpin religius dan para wakil petani
dan pekera.
Tuntutan gerakan nasional tersebut adalah :
- Penghentian segera imigrasi kaum Zionis.
- Penghentian dan larangan perpindahan kepemilikan tanah Arab pada penduduk baru kaum Zionis.
- Pendirian suatu pemerintahan demokratis yang didalamnya orang-orang Palestina yang memiliki suara.
Analisis Atas
Pemberontakan
Ghassan Kanafani memberi penjelasan mengenai
pemberontakan tersebut :
“penyebab riil
pemberontkan adalah fakta bahwa konflik akut dalam transformasi masyarakat
Palestina dari suatu masyarakat Yahudi (Barat) borjuis industrial, telah
mencapai tingkat tertinggi. Proses pengakaran kolonialisme dan proses
tranformasi dari mandat Inggris menjadi pemukiman kolonial Zionis mencapai
klimaksnya pada pertengahan tahun 1930-an dan faktanya kepemimpinan Palestina
berkewajiban mengadopsi bentuk tertentu karena tidak mampu lagi untuk
menjalankan kepemimpinan di saat konlifk telah memuncak”.
Kegagalan para mufti dan pemimpin religius lain, para
pemilik tanah dan kaum borjuis, mendukung para pekerja dan petani menyebabkan
rezim kolonial dan kaum Zionis mampu menghancurkan pemberontakan setelah 3
tahun perjuangan yang gagah berani. Dalam hal ini, Inggris terbantu oleh
penghianatan rezim Arab tradisional, yang bergantung pada dukungan kolonial mereka.
Perjuangan nasional Palestina telah berlangsung sejak
tahun 1918 M dan dibarengi dengan perlawanan bersenjata. Perjuangan ini juga
meliputi pembangkangan sipil, mogok massal, boikot pajak, penolakan untuk
membawa KTP, aksi-aksi boikot lain dan demonstrasi.
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu
menjadikan orang Yahudi (Yahudi Zionis) dan Nasrani (Inggris) sebagai teman
setiamu; mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa diantara kamu
(muslim) menjadikan mereka teman setia (mitra bisnis, koalisi militer dll ),
maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim (orang yang berkoalisi dengan gerakan Zionis)”
Al-Maidah ayat
51
Sumber
:
Ralph
Schoenman, 2013. Dibalik Sejarah Zionisme
(terjemahan Joko S. Kahar). Mata Padi Pressindo: Yogyakarta.
Gambar by okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar