Sejarah keemasan Islam telah
mencatat, bahwa kejayaan Islam merambah ke Eropa, khususnya Spanyol atau
Andalusia. Selama berabad-abad sejak jenderal Thariq bin Ziyad dari dinasti Umayyah
yang memimpin penaklukan muslim atas wilayah Al-Andalus (Spanyol,
Portugal, Andorra, Gibraltar dan sekitarnya) pada tahun 711 M, Islam mulai mengubah wajah Spanyol. Setelah
mencapai Golden Age, dimana ilmu
pengetahuan, kebudayaan, filsafat dan sastra mencapai puncaknya hingga menjadi
asal mula zaman pencerahan Eropa, tiba saat nya mencapai titik terendah yang
tinggal sejarah. Kaum muslim yang menguasai Spanyol hingga beradab-abad takluk
oleh bangkitnya kekuatan orang Spanyol.
Periode penaklukan kembali Spanyol (reqonquista) dimulai sejak jatuhnya
kekhalifahan Umayyah pada abad ke-11. Namun, para sejarawan Spanyol menganggap
pertempuran Convadonga dibawah pemimpin Austria, Pelayo tahun 718 M yang
memukul mundur pasukan Islam sebagai tanda dimulainya penaklukan yang
sesungguhnya. Penaklukan kembali Spanyol masif dilakukan setelah Castile dan
Leon bersatu pada 1230 M. Pada paruh abad ke-13, proyek penaklukan dijalankan,
hasilnya Toledo direbut pada 1085 M, Cordova pada 1236 M dan Seville pada
1248 M. Pada saat itu, terjadi dua peristiwa penting. Kristenisasi dan
penggabungan Spanyol. Mengkristenkan negeri itu tentu saja berbeda dengan
mempersatukan atau merebut kembali. Satu-satunya kawasan di semenanjung itu,
tempat Islam berakar kuat adalah kawasan yang menjadi lahan pertumbuhan
peradaban Semit dan Kartago. Kenyataan serupa juga dialami Sisilia. Secara
umum, garis perpecahan antara Islam dan Kristen serupa dengan perpecahan dahulu
antara peradaban Punik dan Oksidental. Di penghujung abad ke-13, di seluruh
daratan itu banyak kaum muslim yang telah tunduk pada kaum Kristen melalui
penaklukan maupun melalui perjanjian, tetapi tetap mempertahankan hukum dan
agamanya. Mereka ini disebut Mudejar.
Saat ini, banyak Mudejar yang telah melupakan bahasa Arab, lantas mengadopsi
dialek Romawi dan sedikit berasimilasi dengan orang Kristen.
Proses kemajuan menuju penyatuan
akhir Spanyol memang lambat tapi pasti. Wilayah Kristen terdiri dari Castile
dan Aragon. Perkawinan antara Ferdinand dari Aragon dengan Isabella dari
Castile pada 1469 telah mempersatukan dua kerajaan ini untuk selamanya.
Penyatuan ini menjadi petaka atau meminjam istilah Phillip K. Hitti sebagai lonceng kematian bagi kekuasaan Islam di
Spanyol. Menurut Ibnu Khaldun, para pemimpin Islam (Sultan Nashriyah) tidak
dapat menanggulangi bahaya tersebut. Para sultan terakhir Nashriyah terlibat
sejumlah pertikaian internal yang semakin memperlemah posisi mereka. Dari 21
orang sultan yang memerintah dari 1232 M sampai 1492 M, enam diantaranya
memerintah dua kali dan satu sultan lain, Muhammad VIII atau al-Mutamassik,
memerintah sebanyak tiga kali (1417-1427, 1429-1432, 1432-1444). Dengan begitu,
bisa dikatakan bahwa 28 raja itu rata-rata berkuasa sekitar sembilah tahun.
Kehancuran akhir dipercepat oleh keberanian sultan ke-19, Ali abu al-Hasan
(Spanyol: Alboacen, 1461-1482, 1483-1485) yang bukan hanya menolak membayar
upeti yang sudah lazim, tetapi juga menyulut permusuhan dengan menyerang
wilayah Castile. Ferdinand membalas dengan merebut Emessa, yaitu tempat di
pegunungan Sierra de Alhama, dan menjaga jalan masuk sebelah barat daya yang
mengarah ke Granada. Kemuadian, salah satu putra Abu al-Hasan, Muhammad Abu
Adullah atas hasutan ibunya, Fatimah, yang menurut Al-Maqqari cemburu pada
gundik Kristen Spanyol karena sang raja atau suaminya lebih mencurahkan
perhatian kepada anak-anak gundik itu lalu mengobarkan pemberontakan kepada
ayahnya. Didukung oleh pasukannya, sang putra memberontak dan berhasil merebut
Alhambra pada tahun 1482 M dan menjadi raja penguasa Granada. Tahun berikutnya,
Muhammad, raja ke-11 dari dinasti ini (nama belakangnya Abu Abdullah, Spanyol=
Boabdil ) menyerang Lucena yang termasuk wilayah Castile, lalu ia dikalahkan
dan ditawan. Abu al-Hasan kemudian menduduki kembali tahta Granada, dan
memerintah hingga tahun 1485 M. Pada tahun itu, ia turun tahta untuk kemudian
menyerahkan kekuasaan kepada saudaranya, Muhammad XII yang mempunyai nama
panggilan al-Zaghall (pemberani) yang saat itu menjabat gubernur Malaga.
Ferdinand dan Isabella melihat bahwa tawanan mereka sebelumnya, Abu Abdullah
bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk membantu proses pemusnahan kerajaan Islam.
Berbekal uang dan pasukan dari Castile, sangat disayangkan Abu Abdullah
menyerang pamannya pada 1486 M dan menduduki Granada dan menjadi aib bagi
muslimin dan menjadi tontonan menarik karena terjadi perang saudara yang
sengit.
Menurut al-Maqqari, setelah itu
bala tentara Castile sedang bergerak maju. Satu demi satu kota-kota berjatuhan
ke tangan mereka. Malaga direbut pada tahun berikutnya dan banyak penduduknya
yang dijual dalam perbudakan. Kepungan mereka semakin menyempit ke sekitar
ibukota yang sudah mati. Al-Zaghall tidak berhasil menghadang laju pasukan
Ferdinand, sementara Abu Abdullah berperan sebagai sekutu Ferdinand. Dalam
keputusannya, Al-Zaghall menyeru kepada para raja muslim di Afrika, tetapi
upayanya gagal, karena mereka juga sedang sibuk berkonflik antara mereka
sendiri. Akhirnya ia menyerah dan mundur ke Tilimsan dan di sana ia menjalani
hari-hari terakhirnya dalam penderitaan dan kemiskinan. Ia menurut riwayat,
mengenakan sebuah lencana pada bajunya yang compang-camping dan lencana itu
bertuliskan “inilah raja Andalusia yang
menyedihkan”. Akhirnya, hanya kota Granada yang tetap berada di tangan kaum
muslim, dibawah kekuasaan Abu Abdullah.
Tak lama setelah al-Zaghall
dikalahkan, Abu Abdullah diminta oleh patron-nya
(1490 M) agar menyerahkan kota yang dikuasainya. Karena terbesit keinginan
untuk menjadi seorang pemimpin yang pemberani, Abu Abdullah menolak memenuhi
permintaan itu. Pada musim semi berikutnya, Ferdinand beserta 10.000 pasukan berkuda memasuki Granada. Ia menghancurkan ladang pertanian dan kebun buah-buahan,
kemudian mengepung benteng pertahanan terakhir Islam di Spanyol dengan sangat
rapat. Pengepungan itu ditekan lebih rapat membentuk sebuah blokade dengan
maksud memaksa kota agar segera menyerah.
Al-Maqqari mencerikatan : “saat itu musim dingin terus bergerak
membawa hawa yang sangat dingin dan salju tebal. Seluruh jalan masuk dari luar
dipalang, makanan menjadi sangat jarang, harga-harga membumbung tinggi, dan
kemelaratan merebak. Sementara itu, pihak musuh telah merebut setiap bidang
tanah di luar tembok kota, sehingga pihak yang dikepung tidak mungkin bercocok
tanam atau memperoleh hasil panen. Kondisi kian memburuk ... hingga bulan Safar
(Desember 1491), kesengsaraan rakyat telah mencapai puncaknya”.
Akhirnya pasukan muslim sepakat
untuk menyerah dan diberi jangka waktu dua bulan dengan syarat-syarat sebagai
berikut : Sultan beserta seluruh pejabatnya mesti engucapkan seumpah setia
kepada raja-raja Castile; Abu Abdullah akan menerima sebidang tanah di
al-Basyarat (Spanyol: Alpujarras.
Istilah ini berarti “padang rumput”,
mencakup kawasan pegunungan di selatan Sierra Nevada sampai Mediterania); orang
Islam akan dijamin keamanannya secara pribadi dibawah hukum mereka dan bebas
menjalankan agamanya. Ketika periode gencatan senjata berakhir dan tidak ada
tanda-tanda serangan dari orang Turki atau Afrika, orang Castile mulai memasuki
Granada pada 2 Januari 1492 M dan salib menggantikan bulan sabit di
menara-menara kota itu. Sultan beserta ratunya dengan berpakaian bagus,
meninggalkan benteng merahnya dan pergi di tengah-tengah rombongan yang megah
untuk tidak pernah kembali. Saat beranjak pergi, ia menolehkan wajahnya
sejenak, melayangkan pandang terakhirnya ke ibukotanya itu, menarik nafas
panjang dan akhirnya meledak dalam tangis. Ibunya, seorang jenius yang licik,
diceritakan menatap kepadanya dan berkata “kau
bisa menangis dengan baik layaknya seorang perempuan atas segala yang tidak
bisa kau pertahankan sebagai lelaki”. Dataran tinggi berbatu tempat ia
melayangkan pandangan perpisahannya yang menyedihkan itu masih dikenal dengan El Ultimo Suspiro del Moro atau desahan
terakhir sang Moor.
Abu Abdullah mulanya tinggal di
tanah yang dijatahkan untuknya, tetapi kemudian pergi memencilkan diri ke Fes,
sampai kematiannya pada 1533 M atau 1534 M. Selama beberapa tahun setelah itu
keturunannya pada masa al-Maqqari menyusun sejarahnya (1627-1628), masih
menjadi objek derma, berada diantara
para pengemis. Ferdinand dan Isabella melanggar perjanjian syarat perlindungan.
Dibawah kepemimpinan pendeta yang dipercaya sang ratu, Kardinal Ximenez de
Cisneros, sebuah kampanye untuk memaksa perpindahan agama dijalankan pada 1499
M. Kardinal itu awalnya berusaha menarik buku-buku Arab dari peredaran
buku-buku tentang Islam dengan dibakar. Granada menjadi medan api unggun tempat
pembakaran naskah-naskah Arab. Inqusisi ini kemudian dilembagakan dan terus
berjalan. Semua muslim yang tetap tinggal di negeri itu setelah penaklukan
Granada disebut Moriscos, yang awalnya
ditetapkan kepada orang Spanyol yang memeluk Islam. Orang Spanyol muslim
berbicara menggunakan bahasa Romawi, tetapi menulis menggunakan aksara Arab.
Menurut Lane-Poole dalam bukunya Moor in Spain, banyak orang Moriscos
tentu saja merupakan keturunan orang Spanyol, tetapi kini mereka semua
“diingatkan” bahwa leluhur mereka adalah orang Kristen, dan harus tunduk pada
baptisme atau menolak mereka akan menerima dampak buruknya. Kaum Mundejar
dikelompokkan bersama kaum Moriscos dan banyak diantara mereka yang menjadi
Kripto-Muslim, yakni orang yang mengaku Kristen tetapi secara diam-diam
mempraktikan Islam. Sebagian orang pulang dari persta pernikahannya yang
digelar ala Kristen untuk kemudian secara diam-diam melakukan upacara
pernikahan lagi dengan menggunakan ritual Islam. Banyak orang yang mengadopsi
nama Kristen sebagai nama publik tetapi menggunakan nama Arab secara pribadi. Pada
awal 1501 M, dikeluarkan sebuah dekrit kerajaan yang berbunyi bahwa semua
muslim di Castile dan Leon mesti memeluk agama Kristen, atau jika tidak, mereka
harus meninggalkan Spanyol. Tetapi kenyataannya, dekrit itu tidak ditetapkan
dengan keras. Pada 1526 M, kaum muslim Aragon juga dihadapkan pada dua
alternatif serupa. Pada 1556 M, Phillip II menetapkan sebuah hukum yang
mewajibkan semua muslim untuk meninggalkan bahasa, peribadatan, institusi dan
cara hidup mereka. Dia bahkan memerintahkan agar pemandian-pemandian di Spanyol
dihancurkan karena dianggap sebagai peninggalan dari kekafiran. Operasi kedua
dilancarkan di Granada dan menyebar sampai ke wilayah pegunungan di sekitarnya,
tetapi kemudian dihentikan. Perintah pengusiran terakhir ditandatangani oleh
Phillip III pada 1609 M, yang mengakibatkan deportasi en masse secara paksa atas hampir semua orang muslim di Spanyol. Diceritakan
bahwa sekitar setengah juta muslim harus merasakan nasib ini dan mendarat di
pntai-pantai Afrika atau berpetualang menggunakan kapal laut ke daratan-daratan
Islam yang lebih jauh. Dari kaum Moriscos inilah sebagian besar korsair atau bajak laut Maroko berasal. Antara
kejatuhan Granada sampai dekade pertama abad ke-17, diperkirakan bahwa sekitar
3 juta muslim dibuang atau dihukum mati. Persoalan kau Moor telah terpecahkan
selamanya bagi Spanyol, yang karenanya menjadi sebuah kekecualian menyolok dari
fenomena lazim bahwa dimanapun peradaban Arab tertanam, maka di situ peradaban
itu akan terus hidup. “orang-orang Moor
dibuang untuk sementara Spanyol Kristen bersinar seperti bulan dengan cahaya
pinjaman; lantas muncullah gerhana, dan dalam kegelapan itu Spanyol tenggelam
selama-lamanya”.
Sumber :
Phillip K. Hitti, 2014. History of the Arabs (terjemahan R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi). Serambi: Jakarta.
Gambar by wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar