Jumat, 06 Oktober 2017

Kejatuhan Islam di Spanyol, Hari-hari Terakhir Granada



Sejarah keemasan Islam telah mencatat, bahwa kejayaan Islam merambah ke Eropa, khususnya Spanyol atau Andalusia. Selama berabad-abad sejak jenderal Thariq bin Ziyad dari dinasti Umayyah yang memimpin penaklukan muslim atas wilayah Al-Andalus (Spanyol, Portugal, Andorra, Gibraltar dan sekitarnya) pada tahun 711 M, Islam mulai mengubah wajah Spanyol. Setelah mencapai Golden Age, dimana ilmu pengetahuan, kebudayaan, filsafat dan sastra mencapai puncaknya hingga menjadi asal mula zaman pencerahan Eropa, tiba saat nya mencapai titik terendah yang tinggal sejarah. Kaum muslim yang menguasai Spanyol hingga beradab-abad takluk oleh bangkitnya kekuatan orang Spanyol.
 Periode penaklukan kembali Spanyol (reqonquista) dimulai sejak jatuhnya kekhalifahan Umayyah pada abad ke-11. Namun, para sejarawan Spanyol menganggap pertempuran Convadonga dibawah pemimpin Austria, Pelayo tahun 718 M yang memukul mundur pasukan Islam sebagai tanda dimulainya penaklukan yang sesungguhnya. Penaklukan kembali Spanyol masif dilakukan setelah Castile dan Leon bersatu pada 1230 M. Pada paruh abad ke-13, proyek penaklukan dijalankan, hasilnya Toledo direbut pada 1085 M, Cordova pada 1236 M dan Seville pada 1248 M. Pada saat itu, terjadi dua peristiwa penting. Kristenisasi dan penggabungan Spanyol. Mengkristenkan negeri itu tentu saja berbeda dengan mempersatukan atau merebut kembali. Satu-satunya kawasan di semenanjung itu, tempat Islam berakar kuat adalah kawasan yang menjadi lahan pertumbuhan peradaban Semit dan Kartago. Kenyataan serupa juga dialami Sisilia. Secara umum, garis perpecahan antara Islam dan Kristen serupa dengan perpecahan dahulu antara peradaban Punik dan Oksidental. Di penghujung abad ke-13, di seluruh daratan itu banyak kaum muslim yang telah tunduk pada kaum Kristen melalui penaklukan maupun melalui perjanjian, tetapi tetap mempertahankan hukum dan agamanya. Mereka ini disebut Mudejar. Saat ini, banyak Mudejar yang telah melupakan bahasa Arab, lantas mengadopsi dialek Romawi dan sedikit berasimilasi dengan orang Kristen.
Proses kemajuan menuju penyatuan akhir Spanyol memang lambat tapi pasti. Wilayah Kristen terdiri dari Castile dan Aragon. Perkawinan antara Ferdinand dari Aragon dengan Isabella dari Castile pada 1469 telah mempersatukan dua kerajaan ini untuk selamanya. Penyatuan ini menjadi petaka atau meminjam istilah Phillip K. Hitti sebagai lonceng kematian bagi kekuasaan Islam di Spanyol. Menurut Ibnu Khaldun, para pemimpin Islam (Sultan Nashriyah) tidak dapat menanggulangi bahaya tersebut. Para sultan terakhir Nashriyah terlibat sejumlah pertikaian internal yang semakin memperlemah posisi mereka. Dari 21 orang sultan yang memerintah dari 1232 M sampai 1492 M, enam diantaranya memerintah dua kali dan satu sultan lain, Muhammad VIII atau al-Mutamassik, memerintah sebanyak tiga kali (1417-1427, 1429-1432, 1432-1444). Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa 28 raja itu rata-rata berkuasa sekitar sembilah tahun. Kehancuran akhir dipercepat oleh keberanian sultan ke-19, Ali abu al-Hasan (Spanyol: Alboacen, 1461-1482, 1483-1485) yang bukan hanya menolak membayar upeti yang sudah lazim, tetapi juga menyulut permusuhan dengan menyerang wilayah Castile. Ferdinand membalas dengan merebut Emessa, yaitu tempat di pegunungan Sierra de Alhama, dan menjaga jalan masuk sebelah barat daya yang mengarah ke Granada. Kemuadian, salah satu putra Abu al-Hasan, Muhammad Abu Adullah atas hasutan ibunya, Fatimah, yang menurut Al-Maqqari cemburu pada gundik Kristen Spanyol karena sang raja atau suaminya lebih mencurahkan perhatian kepada anak-anak gundik itu lalu mengobarkan pemberontakan kepada ayahnya. Didukung oleh pasukannya, sang putra memberontak dan berhasil merebut Alhambra pada tahun 1482 M dan menjadi raja penguasa Granada. Tahun berikutnya, Muhammad, raja ke-11 dari dinasti ini (nama belakangnya Abu Abdullah, Spanyol= Boabdil ) menyerang Lucena yang termasuk wilayah Castile, lalu ia dikalahkan dan ditawan. Abu al-Hasan kemudian menduduki kembali tahta Granada, dan memerintah hingga tahun 1485 M. Pada tahun itu, ia turun tahta untuk kemudian menyerahkan kekuasaan kepada saudaranya, Muhammad XII yang mempunyai nama panggilan al-Zaghall (pemberani) yang saat itu menjabat gubernur Malaga. Ferdinand dan Isabella melihat bahwa tawanan mereka sebelumnya, Abu Abdullah bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk membantu proses pemusnahan kerajaan Islam. Berbekal uang dan pasukan dari Castile, sangat disayangkan Abu Abdullah menyerang pamannya pada 1486 M dan menduduki Granada dan menjadi aib bagi muslimin dan menjadi tontonan menarik karena terjadi perang saudara yang sengit.
Menurut al-Maqqari, setelah itu bala tentara Castile sedang bergerak maju. Satu demi satu kota-kota berjatuhan ke tangan mereka. Malaga direbut pada tahun berikutnya dan banyak penduduknya yang dijual dalam perbudakan. Kepungan mereka semakin menyempit ke sekitar ibukota yang sudah mati. Al-Zaghall tidak berhasil menghadang laju pasukan Ferdinand, sementara Abu Abdullah berperan sebagai sekutu Ferdinand. Dalam keputusannya, Al-Zaghall menyeru kepada para raja muslim di Afrika, tetapi upayanya gagal, karena mereka juga sedang sibuk berkonflik antara mereka sendiri. Akhirnya ia menyerah dan mundur ke Tilimsan dan di sana ia menjalani hari-hari terakhirnya dalam penderitaan dan kemiskinan. Ia menurut riwayat, mengenakan sebuah lencana pada bajunya yang compang-camping dan lencana itu bertuliskan “inilah raja Andalusia yang menyedihkan”. Akhirnya, hanya kota Granada yang tetap berada di tangan kaum muslim, dibawah kekuasaan Abu Abdullah.
Tak lama setelah al-Zaghall dikalahkan, Abu Abdullah diminta oleh patron-nya (1490 M) agar menyerahkan kota yang dikuasainya. Karena terbesit keinginan untuk menjadi seorang pemimpin yang pemberani, Abu Abdullah menolak memenuhi permintaan itu. Pada musim semi berikutnya, Ferdinand beserta 10.000 pasukan berkuda memasuki Granada. Ia menghancurkan ladang pertanian dan kebun buah-buahan, kemudian mengepung benteng pertahanan terakhir Islam di Spanyol dengan sangat rapat. Pengepungan itu ditekan lebih rapat membentuk sebuah blokade dengan maksud memaksa kota agar segera menyerah.
Al-Maqqari mencerikatan : “saat itu musim dingin terus bergerak membawa hawa yang sangat dingin dan salju tebal. Seluruh jalan masuk dari luar dipalang, makanan menjadi sangat jarang, harga-harga membumbung tinggi, dan kemelaratan merebak. Sementara itu, pihak musuh telah merebut setiap bidang tanah di luar tembok kota, sehingga pihak yang dikepung tidak mungkin bercocok tanam atau memperoleh hasil panen. Kondisi kian memburuk ... hingga bulan Safar (Desember 1491), kesengsaraan rakyat telah mencapai puncaknya”.
Akhirnya pasukan muslim sepakat untuk menyerah dan diberi jangka waktu dua bulan dengan syarat-syarat sebagai berikut : Sultan beserta seluruh pejabatnya mesti engucapkan seumpah setia kepada raja-raja Castile; Abu Abdullah akan menerima sebidang tanah di al-Basyarat (Spanyol: Alpujarras. Istilah ini berarti “padang rumput”, mencakup kawasan pegunungan di selatan Sierra Nevada sampai Mediterania); orang Islam akan dijamin keamanannya secara pribadi dibawah hukum mereka dan bebas menjalankan agamanya. Ketika periode gencatan senjata berakhir dan tidak ada tanda-tanda serangan dari orang Turki atau Afrika, orang Castile mulai memasuki Granada pada 2 Januari 1492 M dan salib menggantikan bulan sabit di menara-menara kota itu. Sultan beserta ratunya dengan berpakaian bagus, meninggalkan benteng merahnya dan pergi di tengah-tengah rombongan yang megah untuk tidak pernah kembali. Saat beranjak pergi, ia menolehkan wajahnya sejenak, melayangkan pandang terakhirnya ke ibukotanya itu, menarik nafas panjang dan akhirnya meledak dalam tangis. Ibunya, seorang jenius yang licik, diceritakan menatap kepadanya dan berkata “kau bisa menangis dengan baik layaknya seorang perempuan atas segala yang tidak bisa kau pertahankan sebagai lelaki”. Dataran tinggi berbatu tempat ia melayangkan pandangan perpisahannya yang menyedihkan itu masih dikenal dengan El Ultimo Suspiro del Moro atau desahan terakhir sang Moor.
Abu Abdullah mulanya tinggal di tanah yang dijatahkan untuknya, tetapi kemudian pergi memencilkan diri ke Fes, sampai kematiannya pada 1533 M atau 1534 M. Selama beberapa tahun setelah itu keturunannya pada masa al-Maqqari menyusun sejarahnya (1627-1628), masih menjadi objek derma, berada diantara para pengemis. Ferdinand dan Isabella melanggar perjanjian syarat perlindungan. Dibawah kepemimpinan pendeta yang dipercaya sang ratu, Kardinal Ximenez de Cisneros, sebuah kampanye untuk memaksa perpindahan agama dijalankan pada 1499 M. Kardinal itu awalnya berusaha menarik buku-buku Arab dari peredaran buku-buku tentang Islam dengan dibakar. Granada menjadi medan api unggun tempat pembakaran naskah-naskah Arab. Inqusisi ini kemudian dilembagakan dan terus berjalan. Semua muslim yang tetap tinggal di negeri itu setelah penaklukan Granada disebut Moriscos, yang awalnya ditetapkan kepada orang Spanyol yang memeluk Islam. Orang Spanyol muslim berbicara menggunakan bahasa Romawi, tetapi menulis menggunakan aksara Arab.
Menurut Lane-Poole dalam bukunya Moor in Spain, banyak orang Moriscos tentu saja merupakan keturunan orang Spanyol, tetapi kini mereka semua “diingatkan” bahwa leluhur mereka adalah orang Kristen, dan harus tunduk pada baptisme atau menolak mereka akan menerima dampak buruknya. Kaum Mundejar dikelompokkan bersama kaum Moriscos dan banyak diantara mereka yang menjadi Kripto-Muslim, yakni orang yang mengaku Kristen tetapi secara diam-diam mempraktikan Islam. Sebagian orang pulang dari persta pernikahannya yang digelar ala Kristen untuk kemudian secara diam-diam melakukan upacara pernikahan lagi dengan menggunakan ritual Islam. Banyak orang yang mengadopsi nama Kristen sebagai nama publik tetapi menggunakan nama Arab secara pribadi. Pada awal 1501 M, dikeluarkan sebuah dekrit kerajaan yang berbunyi bahwa semua muslim di Castile dan Leon mesti memeluk agama Kristen, atau jika tidak, mereka harus meninggalkan Spanyol. Tetapi kenyataannya, dekrit itu tidak ditetapkan dengan keras. Pada 1526 M, kaum muslim Aragon juga dihadapkan pada dua alternatif serupa. Pada 1556 M, Phillip II menetapkan sebuah hukum yang mewajibkan semua muslim untuk meninggalkan bahasa, peribadatan, institusi dan cara hidup mereka. Dia bahkan memerintahkan agar pemandian-pemandian di Spanyol dihancurkan karena dianggap sebagai peninggalan dari kekafiran. Operasi kedua dilancarkan di Granada dan menyebar sampai ke wilayah pegunungan di sekitarnya, tetapi kemudian dihentikan. Perintah pengusiran terakhir ditandatangani oleh Phillip III pada 1609 M, yang mengakibatkan deportasi en masse secara paksa atas hampir semua orang muslim di Spanyol. Diceritakan bahwa sekitar setengah juta muslim harus merasakan nasib ini dan mendarat di pntai-pantai Afrika atau berpetualang menggunakan kapal laut ke daratan-daratan Islam yang lebih jauh. Dari kaum Moriscos inilah sebagian besar korsair atau bajak laut Maroko berasal. Antara kejatuhan Granada sampai dekade pertama abad ke-17, diperkirakan bahwa sekitar 3 juta muslim dibuang atau dihukum mati. Persoalan kau Moor telah terpecahkan selamanya bagi Spanyol, yang karenanya menjadi sebuah kekecualian menyolok dari fenomena lazim bahwa dimanapun peradaban Arab tertanam, maka di situ peradaban itu akan terus hidup. “orang-orang Moor dibuang untuk sementara Spanyol Kristen bersinar seperti bulan dengan cahaya pinjaman; lantas muncullah gerhana, dan dalam kegelapan itu Spanyol tenggelam selama-lamanya”.

Sumber :
Phillip K. Hitti, 2014. History of the Arabs (terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi). Serambi: Jakarta.
Gambar by wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KERAJAAN MARITIM HINDU-BUDHA DI INDONESIA (HABIS)

6. Kerajaan Kediri Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222....